KUNINGAN – Pernyataan kontroversial salah satu pasangan calon bupati-wakil bupati dalam Pilkada Kuningan 2024, soal perlunya “sapu bersih untuk membersihkan lantai yang kotor,” memicu perdebatan hangat di ruang publik. Frasa tersebut kini menjadi semacam metafora politik yang ditafsirkan bebas—antara semangat reformasi, atau sindiran kepada rezim lama.
Pengamat politik lokal sekaligus inisiator Gerakan KITA, Ikhsan Marzuki, menilai pernyataan tersebut sah-sah saja dalam ranah demokrasi. Namun, ia mengingatkan bahwa simbol seperti itu dapat ditafsirkan dengan dua pendekatan utama: semiotika politik dan hermeneutika politik.
“Secara semiotika, kita membaca simbol dan pesan tersembunyi dalam konteks politik—bagaimana narasi dibangun untuk menanamkan ideologi dan menggerakkan persepsi,” ujar Ikhsan, mantan anggota DPRD Kuningan, Senin (15/7).
Sedangkan secara hermeneutika, lanjut dia, publik mencoba memahami makna tersembunyi dari frasa tersebut sesuai konteks sosial dan budaya yang menyertainya. Dalam hal ini, publik punya kebebasan untuk menafsirkan apakah “sapu bersih” bermakna pembersihan terhadap sistem yang bobrok, atau sebagai bentuk konfrontasi politik terhadap status quo.
Menurut Ikhsan, frasa tersebut bisa ditarik ke dua makna besar:
- Makna Personal dan Sosok – Sapu Bersih sebagai representasi figur calon pemimpin yang dianggap bersih, tak terikat masa lalu atau konflik kepentingan.
- Makna Moral dan Semangat – Sapu Bersih sebagai simbol semangat perubahan, motivasi moral untuk memperbaiki pemerintahan, dan membawa gaya kepemimpinan baru.
“Dalam konteks ini, semua calon sah-sah saja mencitrakan dirinya sebagai ‘sapu bersih’. Tapi rakyat tetap perlu melihat substansinya: apakah klaim itu berdasar pada rekam jejak yang jelas?” tegas Ikhsan.
Ia mengingatkan, rekam jejak tetap menjadi ukuran utama. Bukan janji, bukan pencitraan. Tapi capaian dan keberpihakan nyata pada publik.
“Rekam jejak berbicara tentang apa yang pernah dilakukan seseorang, bukan sekadar wacana. Soal integritas, visi, cara mengatasi masalah, dan bagaimana ia berinteraksi dengan masyarakat,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ikhsan juga menyoroti pola kampanye yang menjanjikan bantuan sosial atau uang tunai, yang kerap digunakan sebagai alat untuk membangun dukungan semu. Ia meminta semua pihak untuk meninggalkan praktik-praktik yang tidak mendidik dalam demokrasi.
“Jangan jadikan rakyat sebagai objek manipulasi politik. Bansos atau janji uang itu berasal dari pajak rakyat juga. Itu bukan kebaikan calon, tapi kewajiban negara,” katanya.
Menurutnya, Pilkada Kuningan 2024 harus menjadi momentum untuk menaikkan standar politik: dari transaksional menjadi rasional. Dari popularitas menuju kapabilitas. Dari janji ke rekam jejak.
“Kini saatnya publik memilih bukan karena citra, tapi karena rekam karya, gagasan, dan bukti nyata. Karena masa depan Kuningan ada di tangan pemimpin yang benar-benar mampu bekerja untuk rakyat,” pungkasnya. (ali)
