KUNINGAN – Bupati Kuningan berulangkali mengumumkan bahwa pihaknya akan melakukan Open Bidding ulang karena telah mengantongi izin dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menyikapi hal itu, pengamat kebijakan daerah sekaligus praktisi hukum, Mohamad Agung Tri Sutrisno menagih Bupati Kuningan.
Menurutnya, keberanian itu terasa timpang, karena Bupati juga disaat yang sama tidak dengan jujur mengumumkan apakah hasil OB Sekda terdahulu, yang sudah menghasilkan tiga besar calon Sekda, dibatalkan atau dinyatakan bermasalah.
“Tanpa kejelasan itu, maka langkah menggelar OB ulang berpotensi bertentangan dengan asas kepastian hukum dan prinsip akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan,” tutur Agung, Senn (8/9)
Meski Bupati menyebut sudah mendapat izin, lanjutnya, pelaksanaan OB Sekda kedua tetap berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Pada pasal 10 ayat (1) diterangkan bahwa setiap keputusan pejabat pemerintahan wajib didasarkan pada asas kepastian hukum dan akuntabilitas. Kemudian Pasal 17 ayat (2) melarang adanya penyalahgunaan wewenang, termasuk bertindak sewenang-wenang.
“OB kedua tanpa penjelasan sah mengenai status OB pertama dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan asas kepastian hukum,” tuturnya.
Potensi pelanggaran kedua yaitu UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 213 menerangkan bahwa pengisian jabatan Sekda harus mengikuti prosedur yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
“Mengabaikan hasil OB pertama sama dengan tidak menindaklanjuti prosedur seleksi sah yang telah dilaksanakan,” tuturnya.
Kemudian, PP No. 11 Tahun 2017 jo. PP No. 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS. Dalam PP ini, terang Agung, pasal 118 ayat (2 menerangkan bahwa hasil seleksi terbuka disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (Bupati) untuk memilih satu dari tiga besar calon terbaik.
“Artinya, Bupati wajib menentukan Sekda dari hasil OB pertama. OB ulang justru bertentangan dengan kewajiban tersebut,” terangnya.
Selain itu, kemungkinan pelanggaran juga terjadi pada PermenPAN-RB No. 15 Tahun 2019 tentang Pengisian JPT Secara Terbuka dan Kompetitif. Menurutnya, Pasal 19 ayat (3) menerangkan, bahwa hasil seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) berlaku hingga 2 tahun apabila jabatan belum terisi.
“Karena hasil OB pertama belum melewati masa berlaku dua tahun, OB kedua dapat dianggap melanggar ketentuan ini,” tuturnya.
Terakhir, pelanggaan terhadap UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sebagaimana Pasal 3 ayat (1), keuangan negara harus dikelola secara efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab.
Menurutnya, dengan adanya OB kedua, biaya APBD yang sudah dikeluarkan untuk OB pertama menjadi sia-sia. Hal ini berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran yang pada akhirnya merugikan masyarakat sebagai pembayar pajak.
“Daripada menambah polemik, Bupati sebaiknya menempuh langkah-langkah antara lain, memberikan Kejelasan Hukum – menyampaikan secara terbuka status hasil OB pertama. Jika memang ada cacat hukum atau maladministrasi, maka dasar hukumnya harus jelas dan diumumkan secara transparan,” ungkapnya.
Kemudian, Agung meminta, Bupati juga harus mengedepankan efisiensi anggaran dan memastikan bahwa setiap rupiah APBD digunakan secara efektif untuk kepentingan rakyat, bukan untuk mengulang proses yang seharusnya sudah final.
Atau, lebih dahulu mengonsultasikan perkara ini kepada lembaga independen, yakni melibatkan KASN, Ombudsman, atau BKN untuk memastikan tidak ada maladministrasi dan proses seleksi sesuai aturan perundang-undangan.
“Kepemimpinan yang baik bukan hanya berani mengumumkan izin dari pemerintah pusat, tetapi juga berani menegakkan prinsip kepastian hukum, akuntabilitas, dan efisiensi anggaran,” pungkasnya. (rls)
