KUNINGAN – Akademisi dan pemerhati hukum tata negara, Uu Nurul Huda, angkat bicara soal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 soal pemisahan pemilu nasional dan lokal. Ia menyebut putusan itu justru menimbulkan paradoks dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Menurut hemat saya, putusan ini bertentangan secara logis dengan putusan MK sebelumnya mengenai keserentakan pemilu. Putusan sebelumnya adalah Putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020 yang menyatakan MK memberi enam opsi keserentakan pemilu. Artinya, Putusan 135 dapat menciptakan problematika serius dalam desain tata negara kita,” ujar Uu
Yang lebih pelik, lanjut dia, adalah soal perpanjangan masa jabatan anggota legislatif di tingkat daerah. Menurutnya, perpanjangan dua hingga dua setengah tahun bagi DPRD provinsi maupun kabupaten/kota berpotensi menimbulkan krisis legitimasi.
“Kalau kepala daerah habis masa jabatannya, bisa diganti Penjabat (PJ) karena mereka masih dalam kerangka struktural pemerintahan. Tapi bagaimana dengan DPRD? Mereka lembaga politik, bukan administratif,” ujar Uu.
Ia menilai tidak ada alasan kuat untuk memperpanjang masa jabatan legislatif daerah. “Apa dasar legitimasi politiknya? Legitimasi dari mana? DPR dan DPRD tidak punya hubungan struktural seperti eksekutif,” katanya lagi.
Bahkan, jika DPRD diperpanjang akan rawan gugatan, karena tak memiliki legitimasi. Kerja-kerja DPRD adalah kerja-kerja politik, legitimasi politik adalah keniscayaan karena di dalamnya value dan moralitas legitimasi.
Sebagai pembanding, Uu menyebut masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru yang melahirkan lembaga-lembaga seperti MPRS dan DPRS. Namun, ia menekankan bahwa saat itu adalah kondisi darurat. “Itu keadaan luar biasa, bukan situasi normal seperti sekarang,” ujarnya.
Uu menutup perbincangan dengan nada ringan namun tajam. “Seruput kopi ach. Tapi ini bukan soal kopi, ini soal konstitusi kita yang mulai keruh,” katanya sambil tersenyum. (red)
