Cikalpedia
Cerpen

Retak Dalam Rumah

Retak Dalam Rumah — Bagian 1: “Salah Jalan”

Dulu, Damar bangga setiap kali bisa mengisi tangki bensin penuh tanpa perlu cek saldo. Sekarang, ia bahkan harus memilih: beli beras, atau isi token listrik.

Di pojok ruang tamu, Damar duduk menatap layar ponsel yang gelap. Sudah dua hari ponselnya mati karena tak punya uang beli pulsa. Tapi bukan itu yang membuatnya sesak. Ia menatap cermin kecil di rak TV. Kumis tipis tak terurus, mata cekung, bahu membungkuk.

“Mas, tolong nyapu halaman dong, udah siang!”
Teriakan itu datang dari dapur. Suara Lita—istrinya—tajam, cepat, seperti perintah, bukan permintaan.

Damar diam. Ia berdiri perlahan, bukan karena takut, tapi karena sudah terlalu lelah menjelaskan.

Sudah setahun lebih sejak proyek terakhirnya sebagai desain interior mandek. Sejak itu, ia hanya dapat order kecil-kecilan, tak cukup buat bayar cicilan. Sementara Lita, justru makin sibuk. Kariernya melejit setelah naik jabatan. Gaji besarnya menyelamatkan dapur mereka—dan menghancurkan harga diri Damar, perlahan.

“Kalau nggak bisa bantu cari duit, ya jangan jadi beban juga, Mas,” kata Lita malam itu, saat ia memergoki Damar bermain slot di HP.

Damar hanya menunduk.

Ia tak bisa bilang kalau itu caranya bertahan. Judi online memberinya harapan palsu: mungkin kalau hari ini menang, ia bisa beli sepatu baru buat Raka, anak mereka. Tapi seperti biasa, semua lenyap dalam sekejap. Klik demi klik—dan semua musnah.

“Mas kira aku nggak tahu kamu pinjam uang ke Ardi buat top up?”
“Lita, aku cuma… aku pengin bantu, tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
“Mulainya jangan dari ngejudi, Mas!”
“Tapi kamu juga selalu ngeremehin aku. Aku ini suami kamu, bukan pengemis yang numpang hidup!”

Lita terdiam. Tapi diamnya bukan karena sadar, melainkan karena muak. Ia masuk kamar dan membanting pintu. Damar berdiri sendiri di ruang tengah, tangan mengepal, kepala tertunduk.

Di kamarnya, Raka mendengar segalanya. Ia menulis di buku hariannya:

“Ayah kayaknya sedih. Tapi kenapa Ayah tetap main HP terus? Ibu juga marah terus. Aku pengin mereka diem aja, bukan marah.”

Malam itu, Damar keluar rumah. Ia jalan kaki ke warnet, pinjam komputer, buka akun judi lagi.

Entah kenapa, rasa kalah justru membuatnya ingin menang lebih keras. Ia lupa—dalam keluarga, yang kalah bukan yang miskin. Tapi yang berhenti jujur.

Retak Dalam Rumah – Bagian 2: “Kata-Kata yang Membunuh”

Lita menyalakan laptop dengan satu tangan, sementara tangan lainnya masih memegang centong nasi. Jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi otaknya sudah dipenuhi daftar kerja, target laporan, dan rapat via Zoom yang akan dimulai 30 menit lagi.

Di ruang tengah, Damar masih duduk di kursi yang sama sejak semalam. Rambutnya berantakan, mata sayu, dan tangan terus mengusap layar HP kosong. HP itu sudah mati sejak kemarin, tapi tetap digenggam seolah masih menyimpan harapan.

“Mas, bisa nggak sih bantu dikit? Rumah ini bukan hotel,” ujar Lita datar, tanpa menoleh.

Tak ada jawaban.

Ia menarik napas panjang, menahan emosi yang sudah menumpuk berbulan-bulan. Bukan karena Damar tidak kerja, tapi karena Damar menyerah.

Dulu, Lita bangga punya suami kreatif. Damar pandai mendesain interior, penuh ide, dan sabar. Tapi sejak pandemi, proyek Damar menghilang, dan semangatnya ikut mati.

Awalnya Lita masih bisa memahami. Tapi lama-lama, lelah juga menanggung segalanya.

Ia kerja pagi-siang-malam, dan Damar cuma scroll HP.

Ketika akhirnya ia tahu suaminya berjudi online, rasa kecewa itu berubah jadi jijik.

“Mas kira aku kerja siang malam biar uangnya kamu buang di slot online?”

Damar mengelak. Lita tahu itu kebohongan. Ia menemukan tangkapan layar transaksi. Nominalnya kecil, ya. Tapi mengkhianati kepercayaan itu besar.

“Mas… kamu tuh laki-laki atau apa sih sekarang?”

Ucapan itu terlepas tanpa disaring. Bahkan Lita sendiri terkejut mendengarnya. Tapi Damar tak membalas. Ia hanya menatapnya… kosong.

Dalam diam itu, Lita sadar: sesuatu dalam diri Damar telah mati.

Tapi ia tak tahu… bahwa sesuatu dalam dirinya juga sudah lama ikut membusuk: rasa hormat.

Malam itu Lita mengantar Raka tidur. Anaknya tampak lebih pendiam akhir-akhir ini.

“Ibu, ayah kenapa nggak pernah senyum lagi?” tanya Raka tiba-tiba.

Lita terdiam. Ia ingin menjawab dengan kalimat dewasa, tapi hanya mampu berkata:

“Karena ayah lagi lupa caranya bahagia.”

Raka mengangguk pelan, lalu memeluk ibunya.

Di luar kamar, Damar berdiri tanpa suara. Ia mendengar semuanya.

Untuk pertama kalinya, ia sadar… bahwa diamnya bukan lagi bentuk tenang. Tapi bentuk menyerah.

Di meja kerja Lita, terselip catatan kecil dari Raka:

“Ibu dan Ayah dulunya sayang. Sekarang kayak orang asing. Aku rindu waktu kita nonton bareng.
Apa kita masih bisa balik kayak dulu?”

Lita menatap kertas itu lama. Lebih lama dari ia menatap laporan bulanan di laptopnya. Dan untuk pertama kalinya… ia merasa bukan Damar saja yang gagal sebagai pasangan.

Retak Dalam Rumah – Bagian 3: “Jeda yang Menyakitkan”

Raka tidak tahu banyak tentang judi online. Ia juga tidak tahu apa itu cicilan, pengangguran, atau gaji bulanan. Yang ia tahu, sejak beberapa bulan terakhir, rumahnya jadi sunyi—tapi bukan sunyi yang nyaman. Sunyi yang tajam, yang bikin perutnya mual tanpa alasan.

Dulu, Ayah suka nyanyi-nyanyi kecil waktu bikin kopi pagi-pagi. Sekarang, Ayah lebih banyak diam, duduk sendirian, dan tidur siang terlalu lama.

Dulu, Ibu sering cium pipi Ayah sebelum kerja. Sekarang, suara Ibu keras seperti suara di iklan kompor gas yang marah-marah.

Raka pernah bertanya, “Kenapa Ayah nggak kerja?”

Ibu menjawab singkat, “Ayah lagi capek.”

Tapi Raka pernah dengar Ibu teriak, “Kalau cuma ngabisin uang, semua orang juga bisa!” Setiap malam, Raka pura-pura tidur lebih cepat. Tapi sebenarnya ia mendengarkan. Ia merekam semua yang tak seharusnya ia pahami.

Suatu malam, Ayah masuk ke kamarnya. Wajahnya tampak lebih tua dari biasanya. Ia duduk di ujung ranjang, dan membelai rambut Raka.

“Kamu tidur?” bisik Ayah.

Related posts

Kementerian Pertanian Buka Seleksi Young Ambassador Agriculture 2024, Petani Muda Kuningan Diajak Daftar

Cikal

Hanyen Apresiasi Rumah Tani

Cikal

Ribuan Warga Bogor Iringi Bendera Raksasa Sepanjang 500 Meter

Alvaro

Leave a Comment