Episode 1: Pergi yang Tak Pernah Direncanakan
Sudah dua bulan lebih aku pergi dari rumah. Dua bulan tanpa menyentuh tangan kecil Rafi saat ia tertidur. Dua bulan tanpa mendengar celoteh Nayla yang suka menggambar keluarga kami dengan matahari besar dan pelangi warna-warni. Dua bulan tanpa melihat Arga, anak sulungku, yang mulai beranjak remaja dan makin jarang tersenyum.
Pagi itu sebenarnya biasa saja. Hanya sebuah cekcok kecil tentang uang belanja yang belum cukup. Tapi, seperti bara yang tak pernah padam, satu kalimat dari Nisa seperti menyiramkan bensin ke atas luka lama.
“Kalau nggak bisa jadi kepala rumah tangga, jangan sok merasa paling benar.”
Aku membalas. Bodoh memang, tapi egoku lebih besar dari logika. Aku lempar jaket ke bahu dan keluar. Tadinya hanya mau menenangkan diri, satu-dua malam mungkin. Tapi malam itu berubah menjadi dua bulan yang menggulung semua yang kupunya—harga diri, rumah, dan kehadiran sebagai ayah.
Kontrakan ini sepi. Tapi lebih sepi hatiku.
Aku sering duduk di warung dekat rumah lama. Diam-diam berharap bisa melihat anak-anak, meski dari jauh. Kadang Rafi lewat digandeng Nisa. Kadang Arga sendirian dengan ransel besar di punggung. Pernah Nayla menangis karena tak dibelikan balon oleh tukang keliling.
Aku hanya bisa menatap. Tak ada keberanian untuk mendekat.
Aku tahu, aku salah.
Malam ini, aku kembali memandangi foto keluarga kami di layar ponsel. Foto terakhir di ulang tahun Rafi yang ketiga. Aku yang mengangkatnya tinggi-tinggi, Nayla di pangkuan ibunya, dan Arga tersenyum canggung di belakang kue.
Aku akan kembali.
Tapi tidak dengan amarah.
Aku akan kembali sebagai ayah yang tahu cara meminta maaf.
Episode 2: Surat untuk Anak-Anakku
Malam ini hujan. Seperti biasa, kontrakan kecil ini lembap dan dingin. Tapi dinginnya tak ada apa-apanya dibanding hampa yang terus menggerogoti dadaku. Aku duduk bersila di lantai, dengan kertas bekas dan bolpoin pinjaman dari warung depan.
Aku ingin menulis.
Bukan sebagai laki-laki yang kalah, tapi sebagai ayah yang rindu.
Untuk Arga, Nayla, dan Rafi…
Maaf, Ayah belum pulang.
Maaf, Ayah terlalu lama marah. Terlalu lama menjauh.
Padahal tiap malam, wajah kalian terus datang ke dalam mimpi Ayah. Suara kalian, tawa kalian, dan tangisan kalian—semua terpatri di kepala Ayah seperti lukisan yang tak bisa dihapus.
Arga, kamu anak sulung yang kuat. Mungkin kamu kecewa sama Ayah. Tapi kamu juga anak yang paling paham diam Ayah itu bukan karena nggak peduli, tapi karena Ayah takut—takut kalian makin jauh kalau Ayah salah langkah lagi.
Nayla, anak cantik yang selalu gambar pelangi. Dunia Ayah abu-abu sekarang. Nggak ada warna. Nggak ada senyum manis kamu yang suka nyium pipi Ayah setiap pulang kerja.
Dan Rafi, si bungsu yang masih bau matahari. Waktu Ayah pergi, kamu belum bisa ngomong banyak. Sekarang mungkin kamu sudah mulai panggil “Ayah” tanpa Ayah ada untuk menjawab.
Ayah minta maaf.
Kalau nanti Ayah datang, dan kalian belum mau peluk Ayah, nggak apa-apa. Ayah akan tetap duduk di luar pintu, sampai kalian siap.
Karena Ayah nggak akan ke mana-mana lagi.
Ayah pulang.
Dengan rindu yang tak pernah reda.
— Ayah
Aku melipat surat itu perlahan. Satu untuk anak-anak. Satu lagi akan kutulis untuk Nisa. Entah apa dia masih marah. Tapi aku tahu dia ibu yang kuat, yang selalu berusaha melindungi anak-anak kami meski hatinya juga mungkin luka.
Besok pagi, aku akan berangkat.
Aku tahu mungkin pintu belum terbuka.
Tapi aku akan berdiri di depan rumah itu. Seperti seorang ayah yang ingin pulang, meski harus menunggu.
Episode 3: Pintu yang Masih Terkunci
Pagi itu langit mendung, tapi tak ada hujan. Aku mengenakan jaket lusuh—jaket yang dulu Nayla pilihkan warna biru karena katanya Ayah cocok warna langit.
Surat sudah di saku, tanganku gemetar.
Langkahku menyusuri gang sempit yang tak asing. Tiap langkah seperti menapaki kenangan. Di depan warung Pak Darto, anak-anak biasa beli permen. Di dekat pohon mangga yang sekarang makin besar, aku dan Nisa pernah duduk berdua, bicara soal masa depan.
Sekarang aku di depan pagar rumah.
Dari kejauhan, aku lihat Arga baru pulang sekolah. Ransel besar di punggung, jaket masih terbuka. Dia berhenti ketika melihatku. Matanya terbelalak. Tangannya mengepal.
“Arga…” suaraku nyaris tak terdengar. “Ayah…”
Dia diam. Menatap tajam. Lalu tiba-tiba… berlari masuk rumah. Pintu ditutup keras.
Dadaku sesak.
Aku ingin percaya itu karena kaget. Tapi mungkin juga karena marah. Dan aku pantas dimarahi.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Bukan Arga.
Nisa berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat. Ada lingkar hitam di matanya. Rambutnya tak serapi biasanya, tapi ia tetap perempuan kuat yang kukenal.
Aku ingin bicara, tapi lidahku kelu.
“Ada apa ke sini?” suaranya datar.
Aku keluarkan surat dari saku, tanganku gemetar.
“Untuk kamu… dan anak-anak. Aku nggak datang buat ribut. Aku cuma… mau pulang. Kalau kamu izinkan.”
Dia menerima surat itu dengan tangan kaku. Diam. Lalu berkata, “Kamu tahu, dua bulan ini Rafi tiap malam nanyain kamu. Nayla gambar kamu tiap hari. Tapi Arga—dia nggak mau sebut nama kamu sama sekali.”
Aku menunduk. Rasanya hancur. Tapi aku harus kuat.
“Kalau kamu benar-benar mau pulang,” lanjutnya, “buktikan. Tapi jangan masuk dulu. Biar waktu yang kasih jawaban.”
Dia menutup pintu.
Tapi tak sepenuhnya.
Ada celah kecil yang dibiarkan terbuka.
Episode 4: Menunggu di Balik Pintu
Sudah tiga hari aku duduk di depan rumah, di kursi plastik tua milik tetangga sebelah. Pagi aku datang, malam aku pulang ke kontrakan. Hanya duduk, menunggu.
Hari pertama hanya ada tatapan sinis dari Arga lewat jendela. Nayla hanya mengintip sebentar lalu lari. Rafi bahkan tak tampak sama sekali. Nisa tak keluar. Tapi setiap aku meletakkan makanan ringan, jus kesukaan Rafi, atau pensil warna untuk Nayla di pagar, besoknya selalu sudah hilang.
Hari kedua, aku bawa roti isi yang dulu suka kubuat. Kugantung di pagar dalam kantong plastik. Siangnya, kulihat dari kejauhan—Nayla keluar sebentar, mengambilnya, lalu cepat-cepat masuk.
Hati ini seperti diremas.
Aku tahu aku belum sepenuhnya dimaafkan.
Tapi setidaknya, aku belum dilupakan.
Hari ketiga, sore menjelang maghrib, aku masih duduk diam. Hujan turun rintik-rintik. Aku berniat pulang ketika pintu rumah terbuka pelan.
Rafi, si kecil yang belum genap empat tahun, berjalan tertatih ke arahku. Tangannya membawa gambar coretan tak jelas—garis lengkung dan matahari besar di atasnya. Ia berdiri di depan pagar, lalu berkata pelan,
“Ini… buat Ayah.”
Dunia berhenti sejenak.
Aku ambil gambar itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Nak,” kataku nyaris tak keluar dari kerongkongan.
Dari balik tirai, kulihat Nayla menatap. Matanya sembab. Mungkin menangis. Tapi tak lari. Hanya berdiri.
Namun Arga tetap tak terlihat.
Malam itu, aku menangis di kontrakan. Bukan karena sedih. Tapi karena secercah cahaya telah menembus dinding penolakan.
Pintu masih belum terbuka.
Tapi ada suara kecil dari dalam rumah yang sudah memanggilku: “Ayah.”
Episode 5: Luka yang Belum Sembuh
Hari keempat.
Hari ini, aku memutuskan tak membawa apa-apa. Tak makanan, tak oleh-oleh kecil. Hanya duduk. Aku ingin mereka tahu, kehadiranku bukan karena ingin menyuap atau menarik simpati. Tapi karena benar-benar ingin pulang. Sebagai Ayah. Sebagai manusia.
Menjelang siang, pintu rumah terbuka. Arga keluar, mengenakan seragam olahraga. Di tangannya ada botol minum dan raket bulu tangkis.
Langkahnya berhenti tepat di pagar.
Aku bangkit perlahan.
“Arga…” sapaku pelan.
Dia menatapku dingin. “Buat apa ke sini tiap hari? Mau dikasih kasihan?”
Suaranya tajam. Bukan nada anak-anak. Itu suara dari luka yang mendalam.
Aku menarik napas dalam.
“Ayah tahu kamu marah. Harusnya Ayah nggak ninggalin kalian waktu itu.”
Dia mencibir, “Sekarang baru tahu?”
“Waktu itu Ayah… takut terus bikin salah. Takut kamu makin benci.”
“Dan sekarang kamu pikir duduk di sini tiap hari cukup buat ditebus?” Arga mengangkat alis. “Ayah tahu nggak? Ibu tiap malam nggak tidur. Aku yang jagain Nayla kalau nangis mimpi buruk. Aku yang harus bilang ke Rafi kalau Ayah lagi kerja jauh… padahal Ayah pergi!”
Aku menunduk. Ingin menyentuh pundaknya, tapi aku tahu belum waktunya.
“Maafkan Ayah, Ga…”
Dia menatapku lama, lalu menghela napas berat. “Kalau Ayah benar-benar mau balik, jangan cuma duduk di sini. Hadapi semuanya. Tapi jangan pernah kabur lagi.”
Ia berbalik, berjalan pergi ke lapangan.
Aku masih berdiri membatu. Tapi di dada ini, untuk pertama kalinya… luka itu mulai terbuka untuk sembuh.
Sore itu, Nisa datang menyusul.
Ia berdiri di depan pagar. Tak bicara apa-apa, hanya menatapku.
“Arga udah bicara sama aku,” ucapku akhirnya.
“Iya, aku tahu,” katanya. “Dia marah, tapi dia rindu.”
Kami diam beberapa saat.
“Aku nggak janji rumah ini akan hangat seperti dulu,” lanjut Nisa. “Tapi kalau kamu siap benar-benar pulang… aku bisa bukain pintu itu. Pelan-pelan.”
Air mataku tak bisa kutahan. “Aku siap.”
Pintu rumah terbuka.
Tak lebar. Tapi cukup untuk satu langkah masuk.
Episode 6: Rumah yang Tak Pernah Benar-Benar Hilang
Sore itu, untuk pertama kalinya sejak dua bulan lebih, aku melewati ambang pintu rumah kami. Langkahku ragu, tapi tatapan Nisa menguatkan. Di ruang tamu, tak banyak berubah. Foto keluarga di dinding masih tergantung, meski berdebu. Sofa tua itu masih di tempatnya, dan ada gambar-gambar tempelan di dinding—coretan Nayla yang dulu hanya memenuhi kertas, kini menghiasi seisi rumah.
Aku duduk perlahan. Diam. Lalu suara langkah kecil terdengar.
Nayla berlari ke arahku, langsung memeluk lututku. “Ayah jangan pergi lagi ya,” bisiknya.
Aku peluk dia erat. “Ayah janji, Nak. Ayah di sini sekarang.”
Rafi datang menyusul. Ia membawa mobil-mobilan dan duduk di pangkuanku seolah waktu tak pernah memisahkan kami. Seolah tubuh kecilnya tahu, inilah tempat yang seharusnya: di pelukan Ayahnya.
Lalu Arga masuk.
Tanpa banyak kata, dia duduk di kursi seberang. Kami hanya saling menatap. Tidak ada senyum, tapi tak ada lagi tatapan benci. Hanya diam yang mengerti.
Nisa membawa teh. Duduk di ujung sofa.
“Bukan berarti semua selesai,” katanya tegas. “Kita masih punya banyak yang harus dibicarakan. Luka yang belum sembuh. Tapi…”
“Tapi kita keluarga,” aku melanjutkan. “Dan keluarga nggak pernah benar-benar hilang, kan?”
Dia mengangguk pelan.
Senja menutup hari itu dengan langit jingga yang hangat. Tak ada pelukan dramatis, tak ada air mata besar. Hanya keheningan yang tenang. Sebuah keheningan yang penuh harapan.
Aku tahu, perjalanan kami panjang. Tapi hari ini, aku pulang.
Bukan sebagai laki-laki yang melarikan diri dari pertengkaran.
Tapi sebagai Ayah yang memilih tinggal—meski harus belajar ulang dari awal.
Karena rindu itu bukan hanya ingin bertemu.
Rindu yang sejati adalah ketika kita mau memperbaiki yang retak, meski butuh waktu dan hati.
Dan hari ini, rumah itu… hidup kembali.
Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri
