Cikalpedia
Opini

Sumpah Pemuda dalam Paradigma Pembangunan Berkelanjutan: Menyemai Peradaban Beretika di Era Digital

Nanan Abdul Manan

Nanan Abdul Manan

Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Kuningan

Tanggal 28 Oktober 1928 bukan sekadar catatan dalam sejarah, melainkan momentum yang membentuk kesadaran kolektif bangsa. Di hari itu, para pemuda dari berbagai daerah, suku, dan agama menyatukan tekad untuk menegaskan identitas Indonesia sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Perbedaan suku, ras, agama telah menjadi kekayaan yang menarik dalam konstuksi kesadaran dalam keberagaman (the awareness in the difference). Keberagaman dijadikan sebagai entitas kuat untuk membangun kapasitas dalam kancah global. Mendeklarasikan kekuatan masa yang akan menjadi propaganda di depan kaum colonial. Sungguh gagasan luar biasa genuine pada saat itu sehingga menjadi driving force atas Gerakan sosial yang sangat besar, memompa semangat, membakar jiwa juang, dan menyatu dalam perbedaan. Sumpah Pemuda menjadi fondasi moral bagi lahirnya Indonesia merdeka.

Namun sembilan puluh tujuh tahun kemudian, tantangan yang dihadapi generasi muda jauh berbeda. Dunia kini berada dalam pusaran disrupsi teknologi, krisis ekologi, dan perubahan sosial yang serba cepat. Generasi kini dilanda pada satu kebingungan yang membuncah, yaitu tentang sebuah pilihan yang harus diambil. Dengan berbagai fasilitas yang telah tersedia, mereka bukan saja mudah mendapatkan segala yang diinginkan, baik informasi maupun pengetahuan, akan tetapi, mereka semakin sulit memilih mana yang paling tepat untuk menjadi acuan hidup. Tanpa memahami tentang acuan mana yang harus dipilih, mereka terjebak dalam euphoria kemajuan teknologi yang serba artifisial dan membangun ilusi bagi mereka yang tidak cakap membacanya. Dalam konteks ini, semangat Sumpah Pemuda perlu dimaknai ulang sebagai kompas moral dalam pembangunan berkelanjutan — pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin keberlanjutan sosial, budaya, dan lingkungan.

Menafsir Ulang Sumpah Pemuda di Abad ke-21

Sumpah Pemuda bukan sekadar simbol nasionalisme, melainkan manifestasi kesadaran kebangsaan yang visioner. Para pemuda 1928 berani melampaui batas identitas primordial untuk membangun cita-cita bersama. Semangat inilah yang seharusnya dihidupkan kembali oleh generasi muda masa kini. Jika hari ini kita kaitkan dengan karakteristik manusia abad 21, setidaknya ada tiga hal yang ternyata sudah dimiliki oleh para pemuda terdahulu, diantaranya critical thinking, collaboration and  teamwork, dan social and cultural awareness. Critical thinking diindikasikan dengan nalar yang melampau zaman tentang sebuah gagasan kemerdekaan. Ketertindasan secara fisik tidak serta merta menjadikan jiwa merekapun tertindas, kesempitan ruang gerak mereka justru menjadikan mereka lebih melesat dalam membangun konsistensi pemikiaran. Begitu juga kolaborasi dan kerja tim yang menjadi modal penting dalam keberlanjutan Gerakan kemerdekaan telah terbukti menjadi kekuatan penuh bagi para pemuda di masa itu. Dan begitu juga dalam konteks kesadaran sosial dan perbedaan budaya menjadikan mereka saling menguatkan satu sama lain untuk menjemput kemerdekaan Bersama, bukan golongan, agama atau ras tertentu, akan tetapi bangsa Indonesia satu.

Baca Juga :  Merawat dan Menyalakan Kembali Ruh Pancasila

Di masa kini, konteksnya memang berbeda, tetapi tantangannya sama: bagaimana membangun bangsa di tengah kompleksitas zaman. Jika dulu tantangan terbesar adalah kolonialisme dan keterbelakangan, maka kini tantangannya adalah globalisasi tanpa arah nilai, di mana kemajuan teknologi kadang tidak diimbangi dengan kedewasaan moral. Pemuda hari ini dituntut untuk tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter kuat dan beretika. Mereka perlu memahami sejarah perjuangan bangsanya, karena bangsa yang kehilangan kesadaran sejarah akan mudah kehilangan jati diri. Sejarah tidak hanya untuk dihafal, tetapi untuk dihayati sebagai sumber nilai dalam merancang masa depan.

Relasi sejarah pergerakan pemuda di masa lalu dengan konteks kekinian adalah keterampilan yang adaptif dan inovasi bernilai. Dunia kerja dan kehidupan global menuntut keterampilan baru: berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, komunikatif, dan literasi digital. Namun keterampilan teknologis saja tidak cukup untuk membangun peradaban. Pembangunan berkelanjutan memerlukan integritas moral dan growth mindset — cara berpikir yang percaya bahwa kemampuan manusia dapat tumbuh melalui usaha, refleksi, dan pembelajaran berkelanjutan. Generasi muda Indonesia perlu memadukan kompetensi digital dengan etika kehidupan. Kemajuan teknologi tidak boleh menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaan. Artificial intelligence, big data, atau ekonomi digital harus dipahami bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Sumpah Pemuda di era digital berarti berkomitmen untuk menguasai teknologi tanpa kehilangan nurani, dan berinovasi tanpa mengorbankan kemanusiaan.

Religiusitas dan Kearifan Lokal sebagai Kompas Moral

Pembangunan berkelanjutan sejatinya bukan hanya soal ekonomi hijau atau teknologi ramah lingkungan, tetapi tentang cara hidup yang berakar pada nilai spiritual dan budaya. Dalam konteks Indonesia, dua sumber nilai yang paling kuat adalah religi dan kearifan lokal (local wisdom). Religiusitas memberi kesadaran bahwa manusia adalah khalifah fil ard (pemimpin di bumi) di bumi, yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam dan sesama makhluk. Sementara kearifan lokal mengajarkan harmoni, gotong royong, dan kesederhanaan dalam hidup. Di berbagai daerah, falsafah lokal seperti silih asih, silih asah, silih asuh (Sunda), tepa selira (Jawa), atau mapalus (Minahasa) menunjukkan bahwa pembangunan sejati selalu berangkat dari kepedulian terhadap sesama dan lingkungan.

Baca Juga :  Trias Andriana Terpilih sebagai Ketua KONI Kuningan, Tantangan Menanti di Panggung Olahraga Daerah

Perkembangan teknologi yang menjadi piranti kuat derasnya arus informasi dan komunikasi harus tetap dikendalikan oleh nilai-nilai religi dan kearifan lokal. Tanpa nilai religi dan kearifan local, maka persepsi kebenaran akan dikendalikan oleh mereka yang nir-etika namun handal dalam kendali teknologi. Konten yang tidak bernilai tapi lebih kepada sekedar having fun telah mendominasi jagat digital hari ini. Orinetasi content creator adalah followers dan berakhir di komersial, sementara para penikmat konten tanpa sadar mereka telah menjadi budak-budak para predator moral. Oleh karena itu, religiusitas dan kearifan lokal ini sangat penting dihidupkan kembali dalam dunia modern yang sering kehilangan arah moral. Di tengah derasnya arus globalisasi, religiusitas dan kearifan lokal menjadi jangkar yang menjaga manusia agar tidak hanyut dalam pragmatisme dan individualisme ekstrem.

Pemuda sebagai Arsitek Peradaban Berkelanjutan

Pemuda adalah penggerak utama perubahan. Sejarah bangsa membuktikan bahwa setiap momentum kebangkitan selalu dimulai dari energi pemuda — dari Budi Utomo, Sumpah Pemuda, hingga Reformasi 1998. Kini, peran itu harus diteruskan dalam konteks baru: pembangunan berkelanjutan yang beretika dan berkeadilan. Etika dan adil harus menjadi pengawal utama dalam pembangunan bangsa hari ini. Tidak sedikit kaum akademisi dengan kecukupan gelarnya akan tetapi terlepas dari etika setelah mereka merasa kalah dalam kompetisi dunia, akhirnya nilai akademik tergadaikan demi jabatan dan kekuasaan. Begitu juga keadilan yang masih menjadi slogan di papan reklame dan bacaan di buku ruang kelas akan tetapi hilang pada saat para pemangku kebijakan baik eksekutif maupun legislative sedang berkerumun dalam sindikasi program untuk keuntungan pihak mereka saja.

Dari itulah, pemuda Indonesia harus berani menjadi arsitek peradaban, bukan sekadar penonton globalisasi. Mereka perlu memanfaatkan potensi digital untuk memberdayakan masyarakat, memperjuangkan keadilan lingkungan, dan menumbuhkan semangat solidaritas lintas budaya. Identitas kebangsaan tidak boleh tercerabut oleh teknologi, melainkan harus diartikulasikan ulang dalam ruang digital yang lebih luas. Sumpah Pemuda masa kini bukan lagi hanya tentang “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”, tetapi juga “satu semangat untuk membangun masa depan bersama yang berkelanjutan, bermartabat, dan beradab.”

Baca Juga :  Generasi Muda dan Persatuan Berbasis Digital

Penutup: Menyemai Etika dalam Kemajuan

Refleksi Sumpah Pemuda 2025 seharusnya menjadi momentum untuk menegaskan arah baru pembangunan bangsa: pembangunan yang tidak hanya mengejar kemajuan, tetapi juga menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, religiusitas, dan kearifan lokal. Kekayaan negara yang melimpah haruslah dikelola untuk sebaik-baiknya kebutuhan rakyatnya. Akan tetapi, hal yang mustahil jika kekayaan bumi Indonesia ini dapat dikelola jika SDM para pemuda nya sendiri tidak mumpuni. Isu tambang, nikel, sumber daya terbarukan, energi ramah lingkungan, perubahan iklim, penanganan sampah, kemandirian pangan dan literasi digital merupakan bagian kecil isu-isu yang harus menjadi diskursus, dikuasai penuh dan diimplementasikan oleh kompetensi dan skil para pemuda kini.

Pembangunan keberlanjutan bermakna bahwa masa depan generasi mendatang dipersiapkan oleh generasi hari ini dengan terus merawat lingkungan, sistem birokrasi yang sehat, penegakan aspek hukum yang tegas dengan landasan nilai religius dan kearifan lokal. Pembangunan keberlanjutan juga bersinggungan erat dengan isu global saat ini; perubahan iklim, kemiskinan, ketimpangan ekonomi Kesehatan global, konflik dan kekerasan, kelangkaan sumber daya, ancaman  siber, inflasi, kejahatan dan kekerasan. Rumusan pembangunan berkelanjutan dalam konteks Indonesia juga harus selaras dengan program-program yang tertuang dlam Sustainable Development Goals (SDGs), sehingga pemuda hari ini mampu membawa Indonesia ke kancah global dengan segala kompetensi dan skil yang dimilikinya. Karena keberlanjutan Indonesia sangat tergantung juga dengan bagaimana kita membangun politik luar negeri yang sehat dan berkeadaban.

Generasi muda perlu menyadari bahwa peradaban yang besar bukan dibangun oleh teknologi semata, tetapi oleh manusia yang beretika, beriman, dan berjiwa sosial.
Sumpah Pemuda hari ini bukan hanya simbol persatuan, melainkan panggilan moral untuk menjadi generasi yang mampu memadukan intelektualitas global dengan kebijaksanaan lokal.

“Pemuda yang memahami sejarah bangsanya dan berpikir untuk masa depan peradabannya adalah penentu arah dunia.”  Selamat Hari Sumpah Pemuda.

Related posts

PPNI Kuningan Ekspose 100 Hari Kerja, 2025 Perawat Bergerak Serempak

Cikal

Hanyen Apresiasi Rumah Tani

Cikal

Anak Acep Purnama Turun Gunung, Bantu Menangkan Ridhokan

Cikal

Leave a Comment