KUNINGAN — Tangis haru pecah di Aula Kuningan Eyes Center (KEC) pada Minggu pagi, 20 Juli 2025. Dua puluh dua anak dan remaja tunanetra satu per satu melangkah ke panggung kecil, bukan untuk menyampaikan keluh kesah, melainkan untuk merayakan keberhasilan yang tak mudah: menghafal Al Qur’an dalam gelap.
Wisuda Tahfidz Qur’an Gelombang Pertama ini diselenggarakan oleh Yayasan Netra Berkah Mandiri bersama Rumah Sahabat KITA. Bukan sekadar acara seremonial. Ia menjelma menjadi panggung sunyi tempat semangat juang melampaui keterbatasan, memperlihatkan bahwa ketidaksempurnaan fisik tak pernah sanggup memadamkan cahaya dari dalam diri manusia.
“Ini bukan sekadar hafalan,” ujar Ikhsan Marzuki, inisiator Gerakan KITA sekaligus pembina RSQ. “Ini adalah jihad kecil mereka. Hafalan mereka bukan dengan melihat mushaf, tapi dengan mendengarkan, mengulang, dan meresapi.”
Sebagian besar dari anak-anak itu tidak pernah melihat cahaya sejak lahir. Namun hafalan mereka fasih, nyaris tanpa cela. Uji publik yang dipandu Ustadz Ahmad Taufik, Lc., membuktikan ketangguhan mereka. Ia menyebutkan ayat secara acak, dan mereka melanjutkan tanpa ragu. Beberapa di antaranya bahkan sudah menyelesaikan setengah hingga tiga puluh juz.
Di tengah khidmatnya acara, hadir pula berbagai tokoh. dr. Achmad Budi Utomo, pemilik KEC, menyambut baik penggunaan tempatnya sebagai lokasi acara. “Saya harap ini bukan yang terakhir. Tempat ini memang dibuat untuk menyinari dunia para penyintas penglihatan,” ujarnya.
Ketua BAZNAS Kuningan, Drs. H.R. Yayan Sofyan, mengaku nyaris tak mampu menahan air mata. “Saya sering hadir dalam wisuda tahfidz, tapi yang ini berbeda. Anak-anak ini adalah pejuang cahaya dalam gelap.”
Sementara itu, Drs. Harun Kusyano dari Rumah Sahabat Qur’an menegaskan pentingnya peran keluarga dan komunitas. “Anak-anak ini tidak sendirian. Mereka didampingi, dibimbing, dan dikuatkan. Itu yang menjadikan mereka utuh.”
Puncak acara terasa seperti sepotong surga yang diturunkan. Satu per satu anak memakaikan mahkota kepada orang tua mereka. Tangisan meledak. Anak-anak itu lalu bersimpuh dan mencium tangan ayah ibunya. Mereka memeluk wajah-wajah yang selama ini menjadi cahaya mereka, walau mata mereka tak pernah melihatnya.
Acara ini menjadi semacam momen kolektif untuk menertawakan batas. Tidak ada yang tak mungkin jika hati sudah berniat. Tidak ada yang mustahil bagi Al Qur’an menembus ruang batin manusia, termasuk yang hidup dalam gelap.
Dan hari itu, di lantai tiga sebuah gedung di Kuningan, cahaya itu menyala. Bukan dari lampu, bukan dari panggung. Tapi dari dada-dada kecil yang telah menghafal kalam suci, dan dari orang tua yang tak pernah berhenti berharap.
Karena di dunia ini, yang terpenting bukan apa yang bisa kita lihat. Tapi apa yang bisa kita yakini. (ali)
