Sementara itu, Drs. Harun Kusyano dari Rumah Sahabat Qur’an menegaskan pentingnya peran keluarga dan komunitas. “Anak-anak ini tidak sendirian. Mereka didampingi, dibimbing, dan dikuatkan. Itu yang menjadikan mereka utuh.”
Puncak acara terasa seperti sepotong surga yang diturunkan. Satu per satu anak memakaikan mahkota kepada orang tua mereka. Tangisan meledak. Anak-anak itu lalu bersimpuh dan mencium tangan ayah ibunya. Mereka memeluk wajah-wajah yang selama ini menjadi cahaya mereka, walau mata mereka tak pernah melihatnya.
Acara ini menjadi semacam momen kolektif untuk menertawakan batas. Tidak ada yang tak mungkin jika hati sudah berniat. Tidak ada yang mustahil bagi Al Qur’an menembus ruang batin manusia, termasuk yang hidup dalam gelap.
Dan hari itu, di lantai tiga sebuah gedung di Kuningan, cahaya itu menyala. Bukan dari lampu, bukan dari panggung. Tapi dari dada-dada kecil yang telah menghafal kalam suci, dan dari orang tua yang tak pernah berhenti berharap.
Karena di dunia ini, yang terpenting bukan apa yang bisa kita lihat. Tapi apa yang bisa kita yakini. (ali)