Nama Arga tertera di layar aula itu, disandingkan dengan frasa yang terdengar agung, Nominasi Pemuda Inspiratif Tahun Ini. Tepuk tangan mengalun, sebagian keras, sebagian sekadar formalitas. Arga berdiri, tersenyum tipis, dan menundukkan kepala. Dari barisan kursi, ucapan selamat mengalir seperti arus yang tak bisa ia tolak.
“Luar biasa, Arga.” “Pantas sekali.” “Anak muda visioner.”
Kalimat-kalimat itu mendarat rapi di telinganya. Namun Arga tahu, sebagian dari pujian itu memiliki nada ganda. Ia pernah mendengar tawa yang sama, hanya saja tanpa mikrofon dan tanpa lampu panggung.
Di sudut aula, beberapa wajah yang tadi bertepuk tangan kini saling berbisik. Tawa kecil pecah, lalu mengeras, seperti sengaja tidak disembunyikan. Bagi mereka, penghargaan ini adalah anomali. Terlalu ganjil untuk dipercaya. Mereka mengenal betul rekam jejak Arga, langkah-langkah cepatnya, jalur yang tampak terlalu mulus, dan kehadiran satu nama yang selalu menyertainya di setiap pencapaian.
“Pemuda inspiratif?” seseorang berbisik, lalu tertawa lepas. “Inspirasi dari siapa?”Pujian itu berubah menjadi sindiran yang tak diucapkan. Seolah-olah prestasi Arga adalah kostum pinjaman yang sewaktu-waktu harus dikembalikan.
Arga merasakan panas di tengkuknya, tapi ia tetap berdiri tegak. Ia tidak marah. Ia hanya lelah. Ia paham mengapa mereka tertawa. Di setiap langkahnya, memang ada sosok pemimpin yang selalu ia tempel, mentor, pelindung, sekaligus bayangan. Sosok yang membuka pintu, mengajarkan strategi, dan memberinya ruang belajar. Tanpa sosok itu, Arga mungkin masih berkutat di lorong sempit yang tak bernama.
