Di luar kamar sempitnya, jalan yang ia cela dibangun orang-orang yang benar-benar bekerja. Pohon yang ia hina, bertumbuh rindang dan jadi tempat bermain anak-anak. Sementara Agie, masih menuduh dunia dari kasur bau dan layar retak.
Padahal kemiskinan Agie sendiri lebih banyak karena malas mandi, ogah kerja, dan percaya bahwa ketidakberdayaannya adalah semata-mata salah orang lain. Dalam kamus Agie, tanggung jawab pribadi sudah lama dihapus, diganti dengan kalimat pamungkas, “Pemerintah ngapain aja sih?”
Agie memang hebat. Ia bisa membuat berita kematian anak ayam jadi teori konspirasi. Bisa menjadikan foto pejabat tersenyum jadi bukti korupsi terselubung. Ia punya keahlian langka, membalik fakta dan memukulnya dengan retorika.
Orang-orang mulai mengenal akun-akun itu. Di grup keluarga, ibu-ibu mulai mengutip statusnya. Di grup alumni, bapak-bapak menyebarkan postingannya. Ia merasa berkuasa, meskipun yang disebar hanya hoaks setengah matang dan amarah basi. Ia seperti ilusi, tak nyata, tapi berisik.
Ia seperti penguasa kecil dunia digital. Segala hal ia komentari, segala keputusan ia cela. Padahal, untuk mengurus kebersihan kosannya sendiri pun ia tak sanggup. Di dunia maya ia rapi, suci, dan maha benar. Di dunia nyata, ia adalah gumpalan frustrasi yang menua tanpa arah.
Suatu hari, listrik di kamarnya padam. HPnya mati, koneksi putus, tak ada notifikasi, tak ada komentar, tak ada likes, tak ada dunia.
Dan untuk pertama kalinya, Agie sadar, tanpa akun-akun itu, ia tak lebih dari bayangan sendiri, teriak dalam gelap, berharap didengar, tapi tak pernah benar-benar ada.
Dan akhirnya, Agie kembali ke dunia nyata. Dunia yang tak bisa dikomentari begitu saja. Dunia yang menuntut kerja, bukan cuitan.
Kini, Agie duduk di warung, menatap ponsel mati, tak ada yang peduli. Ia bukan siapa-siapa. Bahkan colokan pun menolaknya, listrik sudah diputus.
Ia mendengar tawa anak-anak dari taman kota. Taman yang dulu ia sebut “proyek bancakan.” Ia melihat jalan mulus yang dulu ia sebut “jalan ke neraka korupsi.” Semua itu nyata, semua itu hasil kerja. Sementara hasil kerjanya? Hanya amarah kosong dan pengikut palsu.
Dan di tengah kesunyian, Agie akhirnya sadar satu hal, Tuhan sejati tidak tinggal di kolom komentar.
Hanya Fiksi Sembari Ngopi by Bengpri