JAKARTA – Di tengah sorotan publik terhadap gaya hidup elite politik, DPR RI kembali menuai kritik. Lembaga legislatif itu memangkas tunjangan rumah anggota sebesar 50 juta per bulan, tetapi pada saat yang sama justru menaikkan anggaran reses hingga mencapai 702 juta dari sebelumnya 400 juta.
Selain itu, ada pula kenaikan alokasi kunjungan daerah pemilihan (kundapil) dari Rp180 juta menjadi Rp216 juta, dengan jadwal delapan kali kunjungan dalam satu tahun. Tambahan anggaran ini semakin mempertebal kecurigaan publik bahwa pos-pos reses dan kundapil rawan disalahgunakan.
Kebijakan ini memunculkan pertanyaan besar tentang keberpihakan wakil rakyat. Publik menuding DPR inkonsisten, lantang bicara efisiensi namun membuka ruang lebar untuk pemborosan melalui pos anggaran lain.
Seorang tenaga ahli (TA) DPR berinisial RA bahkan mengeluhkan praktik lain yang dianggap tak kalah janggal. Ia menyebut gajinya kerap dipotong oleh anggota DPR tempat ia bekerja, berinisial BM, untuk kepentingan yang tak jelas penggunaannya.
“Saya tidak tahu untuk apa potongan itu. Rasanya tidak adil,” ujar RA dalam sebuah percakapan internal yang bocor ke publik.
Praktik ini menambah daftar panjang kritik terhadap DPR, mulai dari transparansi penggunaan dana reses hingga akuntabilitas hubungan kerja antara anggota dewan dengan tenaga ahli mereka.
Di satu sisi, DPR berdalih bahwa kenaikan uang reses dan kundapil diperlukan untuk memperkuat aspirasi masyarakat di daerah pemilihan. Namun di sisi lain, publik bertanya, benarkah kegiatan itu dijalankan sepenuhnya demi rakyat, atau hanya menjadi celah mempertebal dompet wakil rakyat?
Sejumlah pengamat anggaran menilai keputusan itu bertolak belakang dengan narasi penghematan yang kerap dikumandangkan parlemen.
“Jika bicara hati nurani, justru apabila benar ada kenaikan uang reses inilah yang perlu dikritisi, bukan sekedar pencabutan tunjangan rumah,” ujar seorang pengamat kebijakan publik asal Jakarta yang enggan disebut namanya. (Ali)
