Cikalpedia.id – Pagi itu, langit di wilayah Kabupaten XYZ masih berselimut kabut tipis saat Pak Ilham duduk di ruang kerjanya yang baru, di kursi Bupati yang baru saja ia menangkan lewat pemilu yang hangat dan melelahkan.
Di meja kayu jatinya, tumpukan berkas pengangkatan jabatan mulai menumpuk. Kepala SKPD, Sekretaris, Camat, Kabid hingga Kabag di berbagai SKPD. Di antara nama-nama itu, banyak wajah yang tak asing: mereka yang dulu setia menemaninya kampanye, ikut menggalang dukungan, memasang baliho diam-diam, bahkan rela dimutasi demi membelanya.
Kini, mereka menagih balas budi.
“Ada rekomendasi lagi dari relawan, Pak,” ujar Pak Rudi, Kepala BKD, sambil menyodorkan map biru.
Pak Ilham menatap daftar itu. Nama-nama yang ia kenal baik. Tapi hati kecilnya merintih. Beberapa dari mereka… belum pantas. Ada yang sering terlambat, ada yang tak pernah ikut diklat, ada pula yang hanya pandai menjilat.
Ia mendesah pelan. “Rudi, saya tahu mereka berjasa. Tapi kalau saya salah menempatkan orang, yang kena bukan saya saja, tapi seluruh masyarakat.”
Pak Rudi diam. Ia paham dilema itu. Di luar sana, desakan mulai berdatangan. Beberapa wartawan sudah mulai menyoroti isu “bupati balas budi jabatan.” Media sosial juga ramai membicarakan dugaan nepotisme, meski belum ada bukti nyata.
“Kalau saya tidak angkat mereka, saya dianggap ingkar janji. Tapi kalau saya angkat, saya khianati amanah rakyat.”
Sore itu, Pak Ilham memilih menyendiri di pendopo belakang. Ia menatap kolam ikan, seperti mencari jawaban di bening air yang tenang.
Lalu datanglah Bu Rara, istrinya. Ia duduk di sampingnya, tanpa banyak bicara, hanya membawa teh hangat.
“Mereka dulu bantu kamu karena yakin kamu bisa bawa perubahan. Bukan supaya dikasih jabatan. Kalau memang kamu harus mengecewakan beberapa orang demi menepati janji pada rakyat, mungkin itu yang benar.”
Pak Ilham menatap istrinya. Kalimat itu sederhana, tapi menghantam tepat di relung hati yang sedang bimbang.
Malam itu, ia mulai menyusun daftar baru. Ia putuskan akan menempatkan orang sesuai kompetensi. Bagi mereka yang belum layak, akan diberi pelatihan. Yang terbukti kapabel dan layak naik, akan diberikan kepercayaan—tak peduli ikut kampanye atau tidak.
Dan saat protes mulai berdatangan, ia tak menghindar. Ia panggil mereka satu per satu, menjelaskan keputusan dengan data, dengan kejujuran. Tak semua menerima, tapi sebagian mulai paham.
Ia tahu, menjadi pemimpin bukan soal menyenangkan semua orang. Tapi menjaga amanah, meski harus menelan getir.
Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri
