Padahal, pikirnya, kalau saja forum ini digarap dengan serius, hasil diskusinya bisa benar-benar jadi masukan berharga bagi kebijakan daerah. Bukan sekadar rutinitas kosong.
Raka mengenal baik beberapa pejabat yang duduk di depan. Ia tahu, sebagian besar tidak jahat; hanya terjebak dalam kebiasaan. Kadang mereka pun mengeluh padanya, “Ya, beginilah prosedur. Kalau tidak ada acara seperti ini, anggaran tidak jalan.”
Ia ingin mengkritisi lewat tulisannya, tapi hubungan baik yang sudah lama terjalin membuatnya menahan diri. Ia takut kritiknya malah dianggap serangan pribadi, bukan masukan tulus.
Di sela kegalauan itu, ia teringat prinsip yang pernah diajarkan gurunya di dunia jurnalistik:
“Apa yang kau tulis harus kau pahami, tapi apa yang kau pahami tidak selalu harus kau tulis.”
Raka menarik napas panjang. Ia menutup laptop sebentar, memperhatikan para peserta yang sibuk membuka ponsel masing-masing. Hanya segelintir yang mendengarkan moderator berbicara.
Ia tahu, liputannya nanti akan tetap ia tulis dengan rapi, informatif, dan terlihat positif di permukaan. Tapi di hatinya, ada doa kecil: semoga suatu hari, acara seperti ini tidak lagi jadi sekadar seremonial.
Semoga ada keseriusan yang lahir, bukan hanya untuk menghabiskan anggaran, melainkan untuk benar-benar memberi manfaat.
Dan ia pun berjanji pada dirinya sendiri, jika suatu saat ada ruang yang tepat, ia akan menyuarakan keresahannya dengan cara yang bijak. Karena bagi Raka, tugas seorang jurnalis bukan hanya mencatat, tetapi juga menjaga nurani.
Hanya Fiksi sambil Ngopi by Bengpri