KUNINGAN – Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan (FMPK) Kabupaten Kuningan pulang dengan tangan hampa setelah upaya beraudiensi dengan Bupati pada Jumat, (29/8/2025). Alih-alih mendapat ruang dialog soal darurat LGBT, miras, dan narkoba, forum ini justru merasa dipermainkan oleh birokrasi yang semrawut dan ketidakhadiran sang kepala daerah.
Upaya audiensi sudah dimulai sejak 15 Agustus, ketika FMPK mengirim surat permohonan resmi. Tak ada balasan. Surat kedua dilayangkan seminggu kemudian. Baru pada 27 Agustus datang jawaban, bukan lewat surat resmi, melainkan pesan singkat WhatsApp dari ajudan Bupati. Forum diminta hadir hari itu juga pukul 15.00 WIB. Permintaan yang ditolak, karena waktu terlalu mepet untuk mengkonsolidasikan ulama, tokoh masyarakat, MUI, akademisi, hingga ormas yang tergabung dalam forum.
Sehari kemudian Pemda mengirim undangan resmi, audiensi dijadwalkan Jumat, pukul 13.30 WIB. Informasi segera tersebar lewat undangan digital. Namun beberapa jam kemudian, jadwal kembali diubah menjadi pukul 09.00 WIB. FMPK menolak, tetap berpegang pada jadwal semula.
Pada hari pelaksanaan, massa dan undangan hadir di Pendopo. Tapi mereka kembali dipusingkan dengan kabar bahwa lokasi dipindah ke kompleks Sekda di Kuningan Islamic Center. FMPK memilih bertahan di Pendopo. Audiensi akhirnya dibuka oleh Staf Ahli Bupati Elon Carlan. “Berkali-kali kami mohon maaf atas perubahan jadwal yang mendadak,” katanya.
Kekecewaan memuncak saat terungkap bahwa Bupati mendadak pergi ke Indramayu. Wakil Bupati yang diminta menggantikan pun baru diberi tahu dua jam sebelum acara. Pertemuan hanya berlangsung lima menit sebelum peserta bubar.
Sekretaris FMPK, Luqman Maulana, menyebut sikap Pemda mencerminkan minimnya empati.“Ini bukan formalitas. Kami tak sedang mengemis bantuan, melainkan membawa keprihatinan atas krisis moral yang makin masif. Tapi yang kami terima justru sikap tak menghargai,” ujarnya.
Nada serupa datang dari Kyai Edin Holidin. “Sejak Pilkada kami ikut mendukung. Kini guru-guru dan ulama yang sudah meluangkan waktu malah dipermalukan,” katanya keras sebelum meninggalkan forum.
Ikhsan Marzuki dari Gerakan KITA bahkan sudah menyiapkan bahan kajian internasional dari laporan USAID–UNDP soal LGBT di Asia untuk diserahkan. “Kalau Bupati punya kajian yang lebih lengkap, mestinya bisa dibagikan. Ini kesempatan emas untuk saling berbagi informasi, bukan diabaikan,” ujarnya.
Koordinator APIK, Andi Budiman, mengingatkan keterbatasan anggaran daerah mestinya menjadi alasan untuk membuka kolaborasi, bukan menutup diri. “Penyakit sosial bisa diatasi dengan program kolaboratif. Tanpa biaya besar, asal ada kemauan politik,” tegasnya.
Kemarahan FMPK bukannya tanpa dasar. Isu serupa sudah tiga kali mereka bawa ke DPRD, menghadirkan dinas terkait. Hasilnya nihil. Hingga kini Pemda belum punya roadmap, strategi, maupun program konkret untuk merespons maraknya komunitas LGBT, peredaran miras, dan penyalahgunaan narkoba di Kuningan.
Bagi FMPK, peristiwa Jumat itu bukan cuma kegagalan teknis, melainkan cermin dari tata kelola birokrasi yang amburadul dan rendahnya empati pemimpin daerah. “Ini soal martabat rakyat yang diremehkan,” kata Luqman Maulana sebelum membubarkan forum.
FMPK berjanji tak berhenti di sini. Mereka akan melanjutkan konsolidasi lintas elemen di luar jalur formal pemerintah. (Ali)
