Ibe secara spesifik menyoroti fungsi kawasan. Menurutnya, lahan terbuka di lereng pegunungan Ciremai mutlak harus dipertahankan sebagai zona konservasi. Jika lahan krusial tersebut diubah secara masif menjadi akses jalan tanpa adanya rencana tata ruang yang komprehensif dan berkelanjutan, dampaknya sangat berbahaya. Hal itu akan secara langsung mengganggu stabilitas struktur tanah dan menghancurkan sistem resapan air alami yang selama ini bekerja menjaga keseimbangan ekologis daerah tersebut.
“Gunung Ciremai adalah aset ekologis yang memiliki fungsi vital yang wajib kita jaga. Kita berkewajiban untuk memastikan bahwa setiap pemanfaatan lahan sekecil apapun harus sesuai dengan peraturan dan peruntukannya. Jangan sampai niat pembangunan yang digaungkan justru berbalik arah dan secara drastis meningkatkan potensi kerawanan bencana bagi masyarakat Kuningan,” tegasnya, memberikan ultimatum.
BPBD Kuningan pun mengeluarkan imbauan tegas kepada seluruh pemangku kepentingan, yang mencakup pemilik lahan, investor, hingga para pelaku pembangunan di sektor pariwisata maupun properti, untuk menjadikan prinsip mitigasi bencana sebagai pondasi utama setiap kegiatan. Setiap rencana pembangunan harus diawali dengan konsultasi resmi dengan pemerintah daerah, termasuk pengajuan kajian teknis yang dilakukan oleh instansi yang berwenang.
Ibe menegaskan, Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak akan ragu untuk segera mengambil langkah penegakan aturan yang keras bila ditemukan adanya pelanggaran tata ruang yang eksplisit ataupun aktivitas yang terbukti membahayakan keselamatan umum.
Polemik pembangunan jalan ‘misterius’ di lereng Ciremai ini menjadi cermin nyata bahwa paradigma pembangunan yang hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi jangka pendek adalah pola pikir yang berbahaya. Di balik janji pertumbuhan pariwisata dan kemudahan aksesibilitas baru, tersembunyi tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan ekologis kawasan pegunungan.
Tanpa pengawasan yang ketat dan perencanaan yang cermat, Ciremai yang telah lama menjadi penyangga kehidupan, sumber air baku, dan paru-paru Jawa Barat justru berpotensi berubah dari sumber daya alam menjadi sumber ancaman bencana massal.
Imbauan tegas dari BPBD ini harus dipandang sebagai alarm yang nyaring agar seluruh pihak menghentikan pola pikir yang pendek dan pragmatis. Sebab, ketika alam sudah tidak mampu lagi menahan beban, sejarah telah membuktikan bahwa bencana tak pernah mengetuk pintu sebelum ia datang menyapu bersih. (Ali)
