Pesan WhatsApp itu singkat.
“Bro, lagi di mana? Lagi punya uang gak? Mau minta tolong.”
Belum sampai satu menit, centang dua berubah biru. Jawabannya pun datang, panjang lebih panjang dari doa syukur di waktu gajian:
“Lagi di kantor, Bos. Maaf ya, gak bisa minjemin uang. Hari ini harus bayar cicilan mobil 5 juta, anak minta uang semester 6 juta, banyak pengeluaran hari ini. Maaf ya.”
Laki-laki itu menatap layar ponselnya, lalu menarik napas panjang. Tangannya otomatis mengelus dada, seperti mencoba menenangkan degup yang tak tahu harus marah, kecewa, atau justru kasihan.
Padahal, ia tidak sedang meminta pinjaman besar. Ia tidak sedang kepepet karena bisnis bangkrut, atau terlilit utang rentenir. Ia hanya kehabisan bensin di depan rumah temannya sendiri, rumah dengan pagar tinggi, mobil mengilap di carport, dan plakat kecil di depan pintu bertuliskan “Work Hard, Stay Humble.” Ironi yang cukup mahal, mungkin seharga cicilan mobil yang sedang ia sebut-sebut.
Laki-laki itu tersenyum kecut.
“Padahal cuma mau bilang: ‘Bro, aku di depan rumahmu, kehabisan bensin. Mau pinjem sepuluh ribu. Gak bawa dompet.’”
Tapi pesannya urung dikirim. Tidak ada gunanya menjelaskan pada orang yang sudah lebih dulu menghitung pengeluarannya daripada memahami maksud sederhana dari sebuah “tolong.”
Ia memilih diam, menaruh ponsel di saku, dan mulai menuntun motornya perlahan, sementara sinar matahari meneteskan peluh di dahinya.
Sekitar seratus meter berjalan, suara motor berhenti di sampingnya. Seorang bapak-bapak berwajah teduh menurunkan kaca helmnya.
“Kenapa, Nak? Motornya mogok?”
