BANDUNG — Kritik pedas dari anggota DPR RI Atalia Praratya soal kebijakan rombongan belajar (rombel) yang diubah menjadi maksimal 50 siswa per kelas tak membuat Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bereaksi keras. Sebaliknya, Dedi memilih menanggapi dengan senyum dan sindiran elegan, sambil menyingkap akar persoalan yang selama ini luput dari perhatian.
“Gini aja, problem utamanya itu adalah kekurangan sekolah. Terutama di Kota Bandung, Depok, Bekasi, Bogor,” ujar Dedi saat ditemui usai Rakernas Apindo di Kota Bandung, Selasa (5/8/2025).
Kebijakan menaikkan jumlah siswa dalam satu kelas, menurut Dedi, bukan semata pilihan, melainkan keterpaksaan akibat kondisi riil di lapangan. Ia menekankan bahwa Jawa Barat, khususnya di daerah perkotaan, menghadapi krisis daya tampung sekolah yang serius.
“Selama ini pemerintah provinsinya kurang membangun sekolah dan ruang kelas,” tegasnya.
Pernyataan ini menjadi pukulan balik yang halus namun tajam, mengingat Atalia adalah istri dari Gubernur Jabar sebelumnya, Ridwan Kamil. Tanpa menyebut nama, Dedi menyentil bahwa pembangunan sekolah nyaris mandek pada periode sebelumnya.
Saat ditanya apakah ia menyindir kepemimpinan Ridwan Kamil, Dedi hanya menjawab santai, “Saya gak tahu sebelumnya apa,” katanya sambil tersenyum.
Dedi juga menambahkan, selama masa kepemimpinannya, Pemprov Jabar mulai fokus membangun ruang kelas baru, khususnya di tingkat SMA. Ia mengklaim telah membangun 38 unit ruang kelas, jauh lebih konkret daripada alokasi belanja sebelumnya yang lebih banyak terserap untuk teknologi informasi.
“Kan sebelumnya belanjanya banyak ke TI. Sekarang, kita baru bangun ruang kelas yang banyak,” imbuhnya.
Sebelumnya, Atalia menilai kebijakan menaikkan kapasitas kelas hingga 50 siswa sangat tidak ideal, baik untuk guru maupun murid. Ia menyebut 25 siswa per kelas adalah jumlah yang manusiawi, sementara 36 siswa adalah batas maksimal yang ditentukan kementerian.
Di tengah panasnya polemik, Dedi memilih tidak terjebak dalam perdebatan personal. Ia mengarahkan perhatian publik pada inti masalah: kekurangan ruang belajar. Di saat kritik datang dari mereka yang pernah berada dalam lingkar kekuasaan, Dedi justru menyodorkan fakta lapangan dan solusi konkret.
Polemik ini memperlihatkan bahwa politik pendidikan tak hanya soal angka dan regulasi, tapi juga soal kesadaran membenahi warisan masa lalu. Dan dalam hal ini, Dedi tampaknya tidak sekadar menjawab, tapi menyentil dengan senyum dan kerja nyata. (Beng)
