Di sisi lain, ancaman hoaks dan disinformasi yang kian masif di Kuningan juga belum diimbangi dengan kampanye literasi digital yang memadai. Tidak ada sistem peringatan dini atau tim khusus yang fokus menangkal berita bohong. Padahal, literasi digital adalah benteng pertama masyarakat dalam menghadapi banjir informasi.
Apakah Diskominfo hanya mau jadi “tukang upload foto pejabat” sebaiknya berganti nama menjadi Dinas Dokumentasi Seremonial, mungkin terdengar pedas. Tetapi jika dicermati, itu adalah sindiran yang mengandung pesan penting. Pemerintah butuh perangkat komunikasi yang substansial, bukan sekadar kosmetik.
Diskominfo perlu evaluasi menyeluruh, mulai dari tata kelola media, penerapan protokol komunikasi krisis yang cepat dan terukur, hingga pembentukan Hoax Buster Team resmi. Lebih dari itu, pola komunikasi satu arah harus ditinggalkan. Transparansi dan interaksi publik bukan sekadar jargon, melainkan kewajiban moral dan hukum.
Sebab, di era digital ini, masyarakat tidak lagi puas menjadi penonton. Mereka ingin terlibat, bertanya, dan mendapat jawaban yang cepat serta jelas. Jika pemerintah masih sibuk menata panggung seremonial sementara informasi yang dibutuhkan publik dibiarkan kabur, maka jurang ketidakpercayaan hanya akan semakin lebar. Dan ketika kepercayaan publik runtuh, seberapa megah pun seremoni, ia tak akan bisa menutupi rapuhnya fondasi komunikasi.
Penulis: Dhika Purbaya, Ketua Umum PMII Kuningan