Cikalpedia
Cerpen

Jembatan Bernama Agni

Orang bilang hidup adalah soal berlari. Tapi bagi Agni, hidup justru tentang berhenti dan memberi jalan.

Sejak kecil, sifat itu sudah melekat. Di sekolah dasar, saat teman-temannya tak punya uang jajan, Agni rela membagi bekal roti dari ibunya. Ketika teman sekelas kesulitan matematika, Agni yang membantu sampai larut sore, meski dirinya sendiri tak pernah juara kelas.

Lucunya, orang-orang yang dulu ditolongnya, ketika sudah pintar, sudah kaya, sudah terkenal, seakan lupa Agni pernah ada.

Waktu berlalu. Agni tumbuh jadi pria dewasa sederhana. Tidak kaya, tidak miskin. Ia membuka toko fotokopi kecil di pinggir kota. Dari toko itulah ia mulai lagi menjadi jembatan.

Ada anak muda ingin melamar kerja, tak punya uang buat fotokopi dokumen. Agni bilang: “Sudah, ambil saja. Nanti kalau sudah kerja, baru bayar.” Anak itu akhirnya diterima sebagai pegawai bank. Tapi sampai beberapa tahun berlalu, ia tak pernah kembali.

Agni tetap tersenyum.

Ada pula teman lama yang ingin membuka usaha minuman kekinian. Tak punya modal, tak punya tempat. Agni meminjamkan separuh ruang tokonya, bahkan membantu promosi. Usaha itu sukses besar, tapi beberapa bulan kemudian, temannya itu memilih pindah ke ruko besar dan tak pernah sekalipun datang kembali sekadar bilang terima kasih.

Suatu sore, Agni duduk sendiri di bangku kayu depan tokonya. Ada anak kecil lewat, menendang botol plastik kosong. Agni mengingat dirinya sendiri dulu, dan entah kenapa dadanya terasa kosong.

“Kenapa ya, semua orang yang aku bantu selalu melupakan?” gumamnya.

Seorang bapak tua yang duduk tak jauh tiba-tiba berkata, “Karena kamu jembatan, Nak. Orang hanya ingat jembatan saat butuh menyeberang. Setelah itu, lupa.”

Baca Juga :  Jejak Dewa dan Pohon Langka di Sagarahiyang

Agni mengangguk pelan. Tapi tetap saja, rasa sesak itu tak bisa ditepis.

Lalu, hidup memberinya ujian yang lebih berat.

Toko fotokopinya kebakaran kecil karena korsleting listrik. Mesin-mesinnya hangus. Modalnya habis. Ia terpaksa menutup toko. Saat itu, Agni berpikir mungkin orang-orang yang pernah ia tolong akan datang. Setidaknya menawarkan bantuan.

Namun yang datang justru sebaliknya: tagihan, sindiran, bahkan hinaan.

Di media sosial, salah satu pengusaha muda yang dulu dibantu Agni menulis status:
“Yang penting usaha sendiri, jangan jadi beban orang lain.”

Dan Agni tahu, kalimat itu untuknya.

Hari-hari berikutnya, Agni hanya duduk di beranda rumah kecilnya, memandang kosong ke jalan.

Suatu malam hujan turun deras. Agni menyalakan radio butut di sudut ruang tamu. Lagu lama mengalun, dan saat itulah ia menyadari sesuatu: dirinya lelah. Tapi bukan karena harus selalu membantu, melainkan karena berharap.

Sejak malam itu, Agni berhenti menunggu orang-orang kembali. Ia kembali membuka toko kecil, kali ini hanya melayani apa adanya. Ia tetap membantu siapa pun yang datang, tanpa lagi mencatat di hati siapa yang perlu berterima kasih atau tidak.

Bulan demi bulan berlalu.

Pada suatu pagi cerah, seorang pria muda dengan jas rapi datang ke tokonya. Wajahnya asing, tapi di matanya ada rasa bersalah.

“Pak Agni?” tanya pria itu.

Agni mengangguk, tersenyum tipis.

“Saya dulu pernah Bapak bantu fotokopi lamaran kerja… Saya minta maaf, saya baru ingat lagi hari ini.”

Agni tertawa kecil, suara yang jarang keluar dari mulutnya.

“Nak, kamu tidak perlu datang lagi hanya untuk minta maaf. Jembatan itu tidak pernah menunggu siapa pun kembali.”

Pria itu terdiam. Lalu, ia mengangguk dalam, sebelum meninggalkan beberapa lembar uang di meja. Tapi Agni menolaknya.

Baca Juga :  Dedi Mulyadi Datangi Unisba: Merangkul Mahasiswa, Menjaga Kedamaian

“Nikmati saja hidupmu, Nak. Aku bahagia melihatmu sudah sampai di seberang.”

Dan setelah pria itu pergi, Agni duduk kembali di beranda, di bawah pohon yang daunnya berguguran pelan-pelan.

Jalan di depannya tetap ramai. Orang-orang melintas, kadang melambaikan tangan, kadang tidak.

Tapi kali ini, Agni benar-benar merasa utuh.

Karena ia tahu, tugasnya di dunia ini bukan untuk dikenal, bukan untuk dipuja, apalagi dibalas budi. Ia hanyalah jembatan. Dan menjadi jembatan, berarti siap dilupakan — tapi tetap kokoh berdiri.

Hanya Fiksi Sembari Ngopi by Bengpri

Related posts

179 Atlet Kuningan Dikirim ke POPDA XIV, Bupati Dian Ingatkan Jangan Hanya Makan Tahu dan Seblak

Alvaro

403 Wisudawan Al-Ihya Kuningan Resmi Sandang Gelar Sarjana dan Magister

Cikal

Auww…. Dian Perintahkan TPP Februari Mulai Dibayarkan Minggu Ini, tapi….

Cikal

Leave a Comment