Suara Kapolres menggema. Bukan karena keras, tapi karena ada ketulusan di dalamnya. Saat ia meminta agar Pangandaran tetap kondusif, banyak nelayan mulai menurunkan tangan mereka, mulai menunduk. Kemarahan itu, perlahan, mencair.
“Saya titip, semoga Pangandaran tetap kondusif. Kami siap mengawal proses ini hingga ada solusi. Mari kita selesaikan dengan cara yang terhormat, bukan dengan perusakan,” lanjutnya.
Tak butuh gas air mata. Tak ada tembakan peringatan. Hanya kata-kata dan keberanian untuk hadir.
Dan itu cukup. Setelah berdiskusi singkat dengan koordinator lapangan, massa membubarkan diri. Damai. Tanpa korban.
Gerbang pendopo rusak. Mobil Damkar ringsek. Tapi tidak ada nyawa melayang. Tidak ada trauma massal. Itu bukan karena situasi tak genting. Tapi karena di saat yang menentukan, satu orang memilih merangkul, bukan menghardik.
Kapolres berjanji untuk tetap mengawal proses, memastikan suara nelayan tak lagi tenggelam di balik meja birokrasi. Dan para nelayan pun pulang, dengan harapan kecil bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, suara mereka akan didengar.
Mungkin itu yang dibutuhkan hari ini: bukan hanya pemimpin yang kuat, tapi pemimpin yang berani hadir, mendengarkan, dan mengajak bicara. Di tengah emosi yang nyaris meledak, satu langkah kecil menuju manusia lain bisa menyelamatkan semuanya. (Beng)
Sumber : https://polrespangandaran.id/