KUNINGAN – Langkah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengganti Penjabat (Pj) Bupati Kuningan Iip Hidajat secara mendadak menuai kritik keras. Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, menyebut keputusan tersebut sebagai tamparan bagi demokrasi dan sistem pemerintahan daerah.
Menurut Uha, pencopotan Iip diduga kuat hanya berdasarkan surat permohonan dari tiga partai politik pendukung calon Bupati Dian Rachmat Yanuar, yaitu Partai Golkar, Gerindra, dan NasDem. Surat itu langsung direspons oleh Kemendagri tanpa konsultasi dengan DPRD Kuningan atau pemangku kepentingan lainnya.
“Ini kesalahan fatal. Tidak ada monitoring, evaluasi, atau penilaian kinerja yang objektif terlebih dahulu. Padahal masa tugas Pak Iip tinggal satu bulan lagi,” kata Uha, Kamis (18/7).
Kebijakan Tanpa Evaluasi, Dianggap Tendensius
Uha menyoroti bahwa pengambilan keputusan tanpa melalui proses evaluasi mencederai mekanisme birokrasi yang seharusnya menjunjung asas keadilan dan transparansi. Ia mempertanyakan peran lembaga resmi seperti DPRD dan Inspektorat Daerah.
“Kalau setiap pejabat bisa diganti hanya karena surat dari partai, lalu buat apa fungsi pengawasan DPRD, Inspektorat, dan sistem evaluasi kinerja? Buang-buang uang rakyat,” kritik Uha.
Lebih lanjut, ia menyebut isi surat pengaduan bernada tendensius dan zalim, seolah menumpahkan semua kesalahan kepada Pj Bupati yang baru menjabat.
“Surat itu bahasanya birokratis, sepertinya ada campur tangan pihak tertentu. Kalau benar ada masalah, mestinya diselesaikan setelah masa jabatannya selesai. Bukan dihabisi sebulan jelang pensiun,” ucapnya.
“Pak Iip Disayangi Rakyat, Tapi Dijatuhkan Secara Sadis”
Uha juga menyayangkan pencopotan tersebut justru terjadi di saat masyarakat mulai menyukai gaya kepemimpinan Iip Hidajat yang dikenal ramah, kolaboratif, dan rendah hati.
“Pak Iip banyak disenangi masyarakat. Tapi malah disingkirkan secara tidak adil. Ini bukan hanya menyakiti Pak Iip, tapi juga mencoreng nama baik Kuningan di mata nasional,” ujarnya.
Ia mengingatkan agar kebijakan publik tidak didorong oleh dendam atau kebencian politik. Sebab rakyat sudah semakin cerdas melihat siapa yang sebenarnya sedang bermain di balik panggung kekuasaan.
“Jangan karena kebencian pada satu orang, lalu keadilan dilanggar. APBD 2024 itu dirancang oleh siapa? Jangan menepuk air di dulang, nanti memercik ke muka sendiri,” tutup Uha.
