Penampilan yang berdurasi kurang dari 5 menit itu benar-benar membuat panggung kehormatan tercengang. Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar, yang turut hadir bersama jajaran Forkopimda, tampak beberapa kali mengangguk-angguk. “Pesannya sangat relevan dengan visi kita sebagai kabupaten konservasi. Saya apresiasi kreativitas mahasiswa Uniku yang membawa isu lingkungan ke ruang budaya,” katanya.
Usai parade, ratusan mahasiswa itu mendapat tepuk tangan panjang. Mereka menutup aksi dengan mengangkat poster bertuliskan “UNIKU ADA DAN TERJAGA”.
Di tengah gegap gempita karnaval, pesan dari mahasiswa Uniku terasa seperti tamparan halus bagi siapa pun yang abai pada alam. Bahwa air yang hari ini mudah kita temukan, bisa saja hilang bila gunung, hutan, dan sungai terus dikorbankan atas nama pembangunan. Seperti kata penutup naskah mereka, “Air bukan milik kita semata, tapi warisan untuk anak cucu.”
Dengan penampilan yang kuat, simbolik, dan sarat makna, Uniku tidak hanya memeriahkan karnaval budaya, mereka menjadikannya panggung kesadaran ekologis. Sebuah panggung yang mengingatkan Kuningan, bahwa menjaga alam bukan pilihan, melainkan kewajiban moral bagi generasi kini dan mendatang. (icu)
