KUNINGAN — Wacana pemangkasan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) di Kabupaten Kuningan kembali memantik perdebatan. Langkah yang tertuang dalam rancangan Perubahan APBD 2025 itu dikritik sebagian kalangan sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap kesejahteraan aparatur sipil negara. Namun, di sisi lain, muncul suara-suara yang melihat kebijakan ini sebagai bagian dari langkah korektif menghadapi krisis fiskal yang makin menekan.
Wakil Ketua DPD Partai NasDem Kuningan, Rudi Oang, menyebut pemangkasan TPP bukan tindakan sewenang-wenang. “Kalau belanja pegawai sudah di atas 50 persen dari total APBD, itu sudah melewati batas aman. Artinya, ada masalah struktural yang harus diselesaikan,” kata Rudi Kamis (7/8/2025).
Menurut Rudi Oang, polemik ini sering kali disederhanakan. Banyak yang lupa bahwa TPP bukan komponen wajib penghasilan ASN seperti gaji pokok. Ia adalah tunjangan yang diberikan atas dasar beban kerja, prestasi, lokasi tugas, dan kelangkaan profesi. “TPP itu fleksibel. Kalau APBD sedang tertekan, tentu prioritas harus bergeser ke layanan dasar dan kewajiban pemerintah daerah,” ujarnya.
Langkah Pemkab Kuningan, kata Rudi, sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 84 Tahun 2022. Dalam kondisi darurat fiskal, mempertahankan beban rutin justru bisa menyeret daerah ke dalam jebakan defisit berkepanjangan.
Rudi Oang juga menyinggung tudingan bahwa pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD menjadi biang kerok krisis anggaran. Ia tak menampik bahwa evaluasi kualitas pokir penting, tapi menolak menyamakan pokir dengan praktik ilegal. “Pokir itu legal. Ia bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Kritik boleh, tapi jangan asal tuduh seolah itu sesuatu yang haram,” katanya.
Pokir, menurut Rudi, berasal dari aspirasi masyarakat saat masa reses. Usulan itu diinput melalui Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) dan diatur dalam Permendagri 86 Tahun 2017 serta UU Nomor 23 Tahun 2014. “Kalau mau reformasi, kita evaluasi mekanismenya, bukan membunuh instrumennya,” ujarnya.
