Dinamika politik Indonesia yang kompleks dan kerap kali sarat kepentingan, etika politik menjadi hal krusial yang tak bisa diabaikan. Etika dalam politik bukan sekadar aturan moral personal, melainkan fondasi nilai yang menjaga kepercayaan publik terhadap pemimpin dan institusi negara. Di tengah berbagai tantangan politik kontemporer seperti praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan polarisasi masyarakat, Pancasila hadir sebagai kompas etika yang relevan sekaligus ideal.
Sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, Pancasila memuat nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi pedoman dalam bertindak, termasuk di ranah politik. Namun, apakah Pancasila benar-benar diinternalisasi dan dijadikan rujukan dalam praktik politik Indonesia? Apakah nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial sungguh tercermin dalam sikap dan kebijakan para pemimpin?
Refleksi Nilai Pancasila dalam Etika Politik
Tulisan ini akan mengulas bagaimana sila-sila dalam Pancasila merefleksikan prinsip etika dalam politik, menelaah praktik politik saat ini, serta memberikan rekomendasi agar Pancasila menjadi etika politik yang hidup.
Pertama, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konteks politik, sila pertama mengandung makna bahwa semua tindakan politik harus dijalankan dengan kesadaran spiritual, tanggung jawab moral, dan menjunjung tinggi nilai kebenaran. Pemimpin yang beretika adalah mereka yang menjadikan nilai-nilai ketuhanan sebagai sumber kebijakan, bukan justifikasi kekuasaan. Etika politik yang berakar pada religiositas sejati akan mendorong pemimpin untuk menjauhi tindakan koruptif dan bertindak adil.
Kedua, Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Politik yang etis adalah politik yang memanusiakan manusia. Pemimpin ideal adalah mereka yang berpihak pada nilai keadilan dan beradab dalam bersikap, bahkan terhadap lawan politik. Dalam praksisnya, sila ini menuntut hadirnya kebijakan publik yang melindungi hak asasi manusia, menolak diskriminasi, dan mendorong perlakuan adil bagi semua warga negara tanpa kecuali.
Ketiga, Sila Persatuan Indonesia. Sila ini menjadi pengingat bahwa politik bukan untuk memecah, melainkan untuk menyatukan. Dalam era media sosial yang mudah memicu disinformasi dan perpecahan, semangat sila ketiga menuntut para politisi untuk mengedepankan inklusivitas, rekonsiliasi, dan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok.
Keempat, Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila ini secara langsung mencerminkan prinsip demokrasi deliberatif. Etika politik menuntut para wakil rakyat dan pemimpin untuk tidak hanya mengejar elektabilitas, tetapi juga mengedepankan musyawarah, mendengar suara rakyat, dan bertindak bijaksana, bukan berdasarkan popularitas semata.
Kelima, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Esensi dari sila ini adalah hadirnya pemerataan dalam segala aspek kehidupan: ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Dalam konteks etika politik, ini berarti kebijakan yang pro-rakyat miskin, berpihak pada yang lemah, dan menghindari akumulasi kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir elite.
Kajian Kritis: Pancasila dalam Praktik Politik Kontemporer
Meski secara normatif nilai-nilai Pancasila begitu luhur, kenyataan di lapangan kerap kali berseberangan. Politik identitas yang mengeksploitasi perbedaan suku, agama, ras, dan golongan (SARA) justru marak menjelang pemilu. Sering kali kita menyaksikan kampanye yang tidak etis, ujaran kebencian, dan hoaks digunakan sebagai alat politik.
Korupsi yang merajalela di berbagai tingkat pemerintahan menunjukkan lemahnya internalisasi sila pertama dan kedua. Tak sedikit pemimpin yang mengaku religius namun tersandung kasus korupsi besar. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ketuhanan belum menjadi pondasi moral yang kuat dalam bertindak.
Sementara itu, sila ketiga tentang persatuan tampak memudar di tengah polarisasi masyarakat. Media sosial menjadi arena pertempuran opini yang memecah belah. Ironisnya, banyak elite politik yang justru mengambil keuntungan dari kondisi ini, bukannya meredam.
Sila keempat juga kerap tercederai ketika para wakil rakyat lebih sibuk menjaga citra dan kekuasaan ketimbang mendengarkan aspirasi masyarakat. Proses legislasi sering kali tidak partisipatif dan minim transparansi.
Terakhir, sila kelima terlihat jelas dilanggar saat ketimpangan sosial makin menganga. Program bantuan sosial yang tidak merata, akses pendidikan dan kesehatan yang masih timpang, serta pembangunan yang berat sebelah menjadi bukti kegagalan menghadirkan keadilan sosial.
Contoh Konkret: Politik dalam Cermin Pancasila
Contoh positif dapat ditemukan dalam beberapa kebijakan afirmatif, seperti program Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal. Program ini merupakan manifestasi dari sila kelima yang mengedepankan keadilan sosial. Namun, praktik negatif jauh lebih mendominasi. Kasus Jiwasraya dan ASABRI, misalnya, mencerminkan kegagalan etika publik yang seharusnya dijaga oleh sila pertama dan kedua. Kasus revisi UU KPK yang dilakukan tanpa partisipasi publik menunjukkan minimnya penerapan sila keempat.
Lebih jauh lagi, penggunaan isu agama dan etnis dalam pilkada atau pilpres adalah bentuk pelanggaran nyata terhadap sila ketiga. Politik tidak boleh digunakan untuk memperuncing identitas, apalagi merusak harmoni sosial.
Akhir kata, Pancasila sebagai kompas etika politik bukanlah utopia. Ia adalah realitas yang bisa dicapai, asalkan ada kesadaran kolektif dari seluruh elemen bangsa, terutama elite politik, untuk menjadikannya pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Untuk itu, beberapa hal perlu dilakukan antara lain, pertama, pendidikan politik berbasis Pancasila. Generasi muda harus dibekali dengan pemahaman kritis tentang etika politik berbasis Pancasila, bukan sekadar hafalan sila. Kedua, Etika Politik sebagai Standar Rekrutmen Partai. Partai politik harus menjadikan nilai Pancasila sebagai kriteria utama dalam memilih calon legislatif maupun eksekutif.
Ketiga, Penguatan Lembaga Etika. Lembaga seperti Mahkamah Etik dan Ombudsman perlu diperkuat peran dan independensinya. Keempat, Transparansi dan Partisipasi Publik. Proses legislasi dan kebijakan publik harus melibatkan masyarakat luas, mencerminkan semangat musyawarah sila keempat. Dan Kelima, Penghargaan bagi Praktik Politik Etis. Perlu ada insentif, baik moral maupun material, bagi pejabat publik yang mempraktikkan nilai Pancasila secara konsisten.
Pancasila bukan sekadar teks dalam pembukaan UUD 1945. Ia adalah roh yang seharusnya menjiwai setiap keputusan politik di negeri ini. Tanpa etika, politik hanya menjadi alat kekuasaan. Namun dengan Pancasila, politik bisa menjadi jalan pengabdian sejati bagi rakyat dan bangsa Indonesia. []
Ditulis oleh: Nanang Yudiana; Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kuningan

2 comments
kompas yang harus dijadikan pedoman, semoga menginspirasi
I really like your blog.. very nice colors & theme.
Did you create this website yourself or did you hire someone to do it for
you? Plz respond as I’m looking to construct my own blog
and would like to find out where u got this from. thank you