Cikalpedia
Cerpen

Panggilan Dari Rumah

Dan malam itu, tak ada tangis. Hanya pelukan. Dan harapan.

Panggilan dari Rumah (Bagian 3: Jalan Baru)
Kuningan, Agustus 2025

Udara pagi di Jalan Godean terasa hangat, meski matahari belum tinggi. Di sisi kiri jalan, deretan kios kecil mulai membuka pintunya. Di antara mereka, sebuah Ayahn nama sederhana berdiri tegak:

“Laundry Keluarga” – Bersih, Cepat, dan Amanah

Kios itu kini sudah lebih besar. Mereka menyewa dua ruang berdempetan—satu untuk pencucian dan penyetrikaan, satu lagi untuk ruang tunggu dan kasir.
Mesin cuci tambahan dibeli dari hasil pinjaman koperasi, dan kini mereka mempekerjakan dua orang tetangga yang sebelumnya juga kesulitan ekonomi.

Kirana, yang kini duduk di kelas dua SMA, menjadi admin media sosial bisnis mereka. Ia membuat akun Instagram, TikTok, dan mulai menerima pesanan online. Dari hanya 3 pelanggan tetap, kini mereka melayani lebih dari 50 rumah tangga dan beberapa kos mahasiswa.

Namun kehidupan tidak berhenti memberi ujian.

Suatu sore, Damar duduk di emperan kios sambil memperhatikan langit yang mulai merah. Di tangannya, ia menggenggam amplop putih dari sebuah perusahaan logistik besar. Isinya: tawaran kerja sebagai sopir truk rute Jawa-Bali. Gaji tetap. Asuransi. Tapi ia harus pergi selama 12 hari setiap bulan.

“Aku nggak tahu, Tar… Apa aku ambil? Lumayan besar gajinya. Bisa buat nyicil rumah kecil.”

Lestari tak langsung menjawab. Ia sedang melipat pakaian yang baru disetrika. “Kalau kamu pergi, siapa yang bantu aku di sini? Usaha ini mulai ramai.”

“Aku bisa bantu malam. Aku kerja siang. Lagipula, usaha ini bisa kamu jalankan sendiri, kan?”

Lestari berhenti melipat. Ia menatap suaminya, bukan dengan marah, tapi dengan luka lama yang kembali mengintip.

“Dulu kamu pergi juga karena alasan ‘mau nyari uang’. Tapi yang kamu bawa pulang malah jarak dan diam. Sekarang aku tanya: kamu mau bangun rumah, atau kamu mau tetap tinggal di rumah?”

Damar tertunduk. Kata-kata itu seperti palu yang memukul pelan, tapi dalam.

“Aku… cuma pengen kita punya rumah lagi, Tar. Aku cuma nggak mau anak-anak terus tinggal di kontrakan sempit.”

Lestari berjalan mendekat, duduk di sampingnya. “Kita sudah punya rumah. Lihat…” Ia menunjuk ke dalam, ke tawa Vano yang sedang belajar mengeja bersama Kirana di dalam kios kecil yang hangat.

“Rumah itu… sudah kembali. Jangan cari yang lain lalu lupa yang ini.”

Damar menarik napas dalam. Amplop itu ia lipat pelan, dan dimasukkan ke saku. Malam itu, ia menolak tawaran kerja.

Oktober 2025

Mereka kini menyewa rumah kecil di pinggiran Kuningan Tak besar, tapi punya halaman dan dua kamar. Laundry mereka tumbuh pelan-pelan. Lestari sesekali ikut bazar UMKM dan membawa kiriman makanan ringan buatan sendiri. Kirana lulus dengan nilai terbaik di sekolah, dan mendapatkan beasiswa kuliah di UGM.

Suatu malam, saat Vano tertidur di sofa dan Kirana sedang mengerjakan tugas kuliah, Damar dan Lestari duduk berdua di teras.

“Kita pernah punya rumah megah, lalu hilang,” kata Damar.

Lestari menatap langit. “Tapi dari kehilangan itu, kita nemuin rumah yang lebih kokoh.”

“Karena kita tinggal di dalamnya, bareng-bareng.”

Damar meraih tangan istrinya, menggenggam erat. “Terima kasih sudah nggak ninggalin aku waktu aku sendiri aja yang milih lari.”

Lestari tersenyum tipis. “Nggak usah diucapkan. Tunjukin aja… tiap hari.”

Epilog – Rumah yang Kembali
Kuningan, Tahun 2040

Hari itu cerah, langit biru tak berawan. Di halaman rumah sederhana berlantai dua yang dikelilingi tanaman hias dan pohon kelengkeng, sebuah tenda kecil berdiri. Ada kursi-kursi putih berjejer, meja dengan taplak renda, dan Ayahn ucapan bertuliskan:

“Selamat & Sukses: Vano Pradipta, S.T., M.Eng – Wisuda & Pulang Kampung”

Vano berdiri di depan cermin kamar masa kecilnya, mengenakan batik abu-abu tua. Usianya 20-an akhir, tinggi semampai, dan wajahnya membawa jejak ayahnya, tenang tapi penuh tekad.
Ia baru saja menyelesaikan studi magisternya di Jepang, dan hari ini adalah hari pertama ia kembali benar-benar “tinggal” di rumah setelah bertahun-tahun merantau.

Di ruang tamu, Lestari kini berambut putih sebagian, sedang menata piring-piring untuk tamu yang sebentar lagi datang. Kirana datang dari Jakarta, membawa suami dan anak kecil yang langsung lari memeluk Lestari saat masuk rumah.

Damar? Ia duduk di teras, mengenakan baju koko putih dan peci, senyum bangga tak henti tergambar di wajahnya.

Vano mendekatinya.

“Pak…” sapanya, duduk di samping ayahnya.

“Lihat ini…” kata Damar pelan. “Dulu rumah kita nggak punya halaman. Sekarang cucumu bisa lari-lari sampai belakang.”

Vano tertawa kecil. “Aku masih ingat waktu rumah kita dulu kosong. Diambil bank. Aku kecil, masih nggak ngerti apa-apa. Tapi sekarang aku sadar… waktu itu yang paling penting bukan kehilangan rumah, tapi cara Bapak dan Ibu saling menggenggam tangan, meski nggak punya apa-apa lagi.”

Damar terdiam lama. “Aku pernah lari, Van. Karena aku pikir laki-laki harus kuat sendiri. Tapi ternyata… laki-laki yang kuat itu bukan yang nggak pernah jatuh. Tapi yang mau pulang waktu dia tersesat.”

Vano menatap ayahnya, mata mereka saling menahan haru.

“Rumah itu bukan bangunan, Pak,” bisik Vano. “Rumah itu hati yang saling menunggu. Dan aku tumbuh di dalam rumah yang paling kokoh di dunia.”

Di dalam, Lestari memanggil. Tamu-tamu mulai datang. Ada tetangga lama, karyawan laundry yang dulu ikut tumbuh bersama mereka, dan anak-anak muda yang jadi murid Lestari dalam pelatihan UMKM.

Sore itu, mereka makan bersama di bawah pohon, tertawa, bercerita, dan mengenang masa lalu bukan dengan luka—tapi dengan rasa syukur.

Dari reruntuhan, mereka membangun rumah. Dan rumah itu kini berdiri bukan hanya di tanah, tapi di hati anak-anak mereka.

Hanya Fiksi Sembari Ngopi By Bengpri

Related posts

Bunda Ela Hayati: Kepedulian Itu Harus Dirasakan Semua Kalangan

Cikal

Rekom Awal DPP PKB Ke Yanuar Prihatin, Ujang : Menunggu Keputusan Final DPP PKB Pasangan

Cikal

Pj Bupati Kuningan Usul Festival Gunung Ciremai, Angkat Isu Lingkungan dan Filosofi Kepemimpinan “AKAR”

Cikal

Leave a Comment