Cikalpedia – Hujan turun pelan, membasahi halaman rumah yang dipenuhi tenda putih. Lampu-lampu gantung bergoyang tertiup angin, memantulkan cahaya lembut. Di balik tirai kamar pengantin, Nisa duduk di depan cermin, mengenakan kebaya putih gading. Cantik. Penuh harap. Tapi di luar kamar, ayahnya, Pak Amir, mondar-mandir dengan wajah pucat.
Malam itu seharusnya malam bahagia.
Tapi tidak untuk Pak Amir.
Ia memegang selembar kertas usang yang sudah lama ia simpan—akta kelahiran asli Nisa, yang tak pernah ia berikan. Tangannya gemetar.
Di ruang tamu, Pak Marwan, sahabatnya, berdiri ragu. “Kau yakin mau bilang sekarang, Mir?”
Pak Amir menatap ke arah kamar Nisa dengan mata berkaca.
“Aku tak bisa diam lebih lama, Mar… Aku bukan ayah kandungnya. Dan dia harus tahu itu. Sebelum ijab kabul, sebelum semuanya jadi lebih rumit.”
“Dia mungkin hancur.”
“Aku tahu.” Suaranya pecah. “Tapi lebih baik dia tahu dari mulutku sendiri… bukan dari orang lain.”
Nisa terkejut melihat ayahnya masuk ke kamar dengan wajah suram. “Ayah… kenapa? Ada apa?”
Pak Amir duduk di sampingnya, menatap wajah anak yang ia besarkan sejak bayi. Bibirnya bergetar.
“Nak… Ayah mau bicara. Ada hal penting… sebelum kamu duduk di pelaminan besok.”
Nisa menggenggam tangan ayahnya. “Kenapa ayah menangis? Ada apa?”
Pak Amir menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara bergetar, “Kamu bukan anak kandung Ayah, Nisa.”
Ruangan terasa membeku. Nisa melepaskan genggamannya. Wajahnya berubah pucat.
“Apa… maksud Ayah?” bisiknya.
“Dua puluh dua tahun lalu, Ayah menemukanmu… bayi mungil, dibungkus selimut, ditinggalkan di mushola dekat rumah. Saat itu, Ayah dan Ibumu baru kehilangan bayi… Kami anggap itu takdir. Anugerah dari Tuhan. Kami rawat kamu, kami beri nama, kami besarkan sepenuh hati…”
Air mata Nisa jatuh perlahan.
“Tapi sekarang kamu akan menikah. Dan menurut agama, wali nikahmu adalah ayah kandungmu. Bukan Ayah. Maka Ayah harus jujur…”
Nisa menggigit bibirnya, menahan tangis. “Jadi… hidupku selama ini… kebohongan?”
“Jangan bilang begitu, Nak…” Pak Amir menggenggam tangan putrinya erat. “Kasih sayang kami… semua cinta itu nyata. Tak ada yang palsu. Ayah hanya takut… kehilangan kamu. Takut kamu menjauh setelah tahu semua ini.”
Nisa terisak, dadanya sesak. “Kenapa Ayah baru bilang sekarang… kenapa bukan dulu, saat aku bisa memahami perlahan… bukan malam ini, malam sebelum aku jadi istri orang…”
Pak Amir menunduk, tubuhnya gemetar. “Maafkan Ayah, Nak… Maafkan…”
Nisa memalingkan wajahnya, mencoba menata hatinya yang remuk. Tapi dalam hati kecilnya, ada bagian yang masih mencintai lelaki itu—pria yang menggendongnya ke sekolah, yang mengajarinya naik sepeda, yang menangis saat dia sakit.
Ayahnya.
Mungkin bukan oleh darah, tapi oleh cinta
Keesokan paginya, prosesi akad nikah berjalan khidmat. Seorang lelaki tua, yang baru diperkenalkan malam sebelumnya sebagai ayah kandung Nisa, duduk sebagai wali. Nisa tak bicara banyak, wajahnya tenang tapi matanya masih sembab.
Di barisan tamu, Pak Amir duduk diam, matanya tak lepas menatap Nisa.
Dan saat semua mata tertuju pada pengantin baru yang bersalaman dengan tamu, Nisa berjalan pelan menghampiri lelaki yang telah ia panggil Ayah selama hidupnya.
Ia berlutut. Memeluknya erat.
“Ayah… terima kasih. Meskipun aku bukan darahmu… aku adalah anakmu. Selamanya.”
Pak Amir akhirnya menangis. Bukan karena rahasia yang terbuka. Tapi karena cintanya akhirnya diterima tanpa syarat.(Beng).
Hanya Fiksi Sembari Ngopi by Bengpri
