Setiap pagi, di sudut kamar yang teduh, sepasang sepatu menunggu kaki yang lelah menempuh dunia. Ia berdiri tegak, diam tapi gagah, seolah tahu perjalanan tak pernah mudah.
Wawan memasukkan kakinya tergesa, tanpa kaos kaki, tanpa jeda. Langkah pertama terasa biasa, langkah kedua mulai perih, dan pada langkah keseribu, tumbuhlah luka kecil di tumitnya, Luka sepatu dan Kaos Kaki yang diam, tapi mengingatkan.
Di malam yang sepi, Wawan menatap sepatunya.
“Kenapa kau melukaiku?” gumamnya lirih.
Padahal, di luar sana, jalanan penuh kerikil, paku, dan debu,
dan hanya sepatu itulah yang sanggup melindungi.
Andai sepatu bisa bicara, ia mungkin berkata,
“Aku tak pernah berniat menyakitimu. Tapi setiap perlindungan butuh jarak lembut agar tak berubah jadi ancaman.”
Dan jarak itu bernama kaos kaki, selembar kain sederhana
yang tak sekuat sepatu, tapi sanggup menenangkan gesekan antara kasih dan perih.
Sejak hari itu, Wawan tak pernah lagi lupa mengenakannya.
Ia melangkah ringan, melewati jalan yang sama, namun kali ini tak ada luka.
Lalu ia tersenyum, mengerti bahwa hidup pun seperti itu.
Cinta tanpa pengertian bisa melukai. Perhatian tanpa ruang bisa menyesakkan, kebaikan tanpa kelembutan bisa terasa seperti paku yang menempel di hati.
Sepatu tetaplah pelindung, tapi ia juga bisa melukai bila lupa ditemani pengertian.
Dan di antara keduanya, kaos kaki hadir sebagai wujud kasih yang tahu kapan harus lembut, dan kapan harus melindungi.
Kadang yang melindungi bisa menyakiti, bukan karena niatnya salah, tapi karena kita lupa menambahkan kelembutan di antara keduanya. Seperti sepatu dan kaos kaki, seperti cinta dan pengertian.
Hanya Fiksi by Bengpri