Setiap pagi, di sudut kamar yang teduh, sepasang sepatu menunggu kaki yang lelah menempuh dunia. Ia berdiri tegak, diam tapi gagah, seolah tahu perjalanan tak pernah mudah.
Wawan memasukkan kakinya tergesa, tanpa kaos kaki, tanpa jeda. Langkah pertama terasa biasa, langkah kedua mulai perih, dan pada langkah keseribu, tumbuhlah luka kecil di tumitnya, Luka sepatu dan Kaos Kaki yang diam, tapi mengingatkan.
Di malam yang sepi, Wawan menatap sepatunya.
“Kenapa kau melukaiku?” gumamnya lirih.
Padahal, di luar sana, jalanan penuh kerikil, paku, dan debu,
dan hanya sepatu itulah yang sanggup melindungi.
Andai sepatu bisa bicara, ia mungkin berkata,
“Aku tak pernah berniat menyakitimu. Tapi setiap perlindungan butuh jarak lembut agar tak berubah jadi ancaman.”
Dan jarak itu bernama kaos kaki, selembar kain sederhana
yang tak sekuat sepatu, tapi sanggup menenangkan gesekan antara kasih dan perih.
