KUNINGAN – Jejak perundingan antara Indonesia dan Belanda yang menghasilkan kesepakatan mengenai pengakuan kemerdekaan Indonesia minim perhatian masyarakat dan pelajar. Momen libur panjang atau menjelang Kemerdekaan, musium yang berlokasi di Desa Linggajati tak banyak dikunjungi.
Padahal 79 tahun silam, tepatnya tanggal 15 November 1946, Desa Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat menjadi saksi sebuah diplomasi terjadi. Belanda, pada perundingan itu, mengakui secara de facto Kemerdekaan Indonesia walaupun belum seutuhnya, hanya untuk wilayah Sumatra, Jawa, dan Madura.
Bagi sebagian pihak, perundingan, yang dihadiri tiga perwakilan negara, Indonesia, Belanda, dan Inggris itu dinilai merugikan. Karenanya, dinamika sejarah terus terjadi sampai akhirnya kemerdekaan atas seluruh wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke diakui dunia hingga saat ini.
“Biasanya jumlah pengunjung memuncak setiap bulan Juni, ketika anak sekolah sedang libur. Ada juga pengunjung dari luar Kuningan, tapi tahun ini menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya,” tutur pengelola Gedung Naskah Linggajati, Toto Rudianto, Rabu (13/8).
Menurutnya, penurunan kunjungan masyarakat atau lebih khusus lagi para pelajar juga terjadi di saat hari kerja. Hal itu disebabkan oleh banyak factor, salah satunya ketika terjadi pembatasan atau larangan kunjungan wisata atau study tour oleh pemerintah.
“Mungkin ini disalahpersepsikan oleh pihak sekolah, yang dimaksud dengan dilarangnya studi tour oleh KDM itu pariwisata yang tidak bersifat edukatif, gedung ini kan sifatnya edukatif jadi mungkin banyak sekolah yang salah persepsi,” ujarnya.
Karena kondisi itu, Toto menerangkan, pihaknya berupaya keras memasifkan pemasaran dan mulai menggeser ke platform media sosial. Informasi tentang dinamika perundingan atau diplomasi yang pernah terjadi terus disebar supaya menarik banyak pihak.
Bahkan, pihaknya juga berkeinginan untuk membangun sarana prasarana pengunjung disabilitas, monumen patung pahlawan atau para tokoh yang terlibat dalam dinamika tersebut. Hal itu sudah menjadi wacana matang dalam rangka memberikan inovasi sejarah supaya bisa menarik generasi z dan seterusnya.
“Saya tuh inginnya ada khusus sarana untuk disabilitas, terus monumen patung pahlawan seperti Soekarno, Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta atau tokoh-tokoh lainnya. Supaya berkesan dan memebrikan informasi yang lebih menarik,” ujarnya. (Icu)
