Meskipun kasus ini menyeret banyak pihak, mulai dari PT Antam UPBN Konawe Utara, PT Lawu Agung Mining, PT Kabaena Kromit Pratama, hingga beberapa pejabat Kementerian ESDM dan telah divonis di pengadilan, sikap penegak hukum tetap menuai pertanyaan karena sejumlah pihak yang diduga ikut terlibat tidak tersentuh.
Pengamat hukum pidana, Dimas Prasetyo, mempertanyakan ketidakhadiran Komisaris PT LAM, Tan Lie Pin alias Lily Salim, di persidangan, meskipun beberapa kali dipanggil untuk memberikan kesaksian. “Ini memperkuat dugaan adanya perlakuan khusus terhadap pihak tertentu,” kata Dimas.
Selain itu, sikap Jaksa yang tidak melakukan kasasi atas putusan Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) juga dipertanyakan. Pemilik PT LAM, Windu Aji Sutanto, yang divonis bersalah menikmati uang hasil korupsi, tidak dijatuhi hukuman dalam perkara TPPU terkait kasus korupsi yang menjeratnya.
Majelis Hakim menjatuhkan hukuman ne bis in idem kepada Windu Aji Sutanto dan pelaksana lapangan PT LAM, Glenn Ario Sudarto. Dengan demikian, tidak ada penjatuhan pidana yang diberikan Hakim, karena keduanya dinilai sudah dihukum dalam perkara yang sama. Keputusan ini menunjukkan adanya celah hukum yang perlu dicermati, sebab TPPU merupakan tindak pidana berbeda yang seharusnya dikenakan sanksi terpisah untuk mencegah terulang.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian ESDM, menunjukkan langkah maju dengan mendorong transformasi tambang rakyat lewat skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk mencegah praktik tambang ilegal.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa skema ini bertujuan mengalihkan aktivitas tambang ilegal menjadi kegiatan yang dikelola dengan baik. “Bukan berarti melegalisasi aktivitas tambang ilegal, namun menertibkannya,” ujar Bahlil. Skema WPR ini difokuskan di wilayah-wilayah yang memang sudah ada izin aktivitas tambang, bukan area baru.
Skema WPR merupakan bagian dari komitmen Pemerintahan Presiden Prabowo yang menginginkan hasil SDA bisa lebih dinikmati oleh rakyat.
“Sumber daya alam kita yang begitu besar, harus kita kelola sebaik-baiknya, untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, dan untuk kesejahteraan rakyat kita. Ini yang terkait dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,” pungkas Bahlil, menegaskan bahwa penertiban tata kelola adalah kunci untuk mewujudkan keadilan sosial dari kekayaan alam Indonesia. (red)
