Cikalpedia
Cerpen

Antara Pena dan Nurani

Cikalpedia.id – Raka duduk di kursi belakang sebuah aula hotel sederhana, laptopnya tergeletak di meja kecil. Di depannya, sebuah spanduk berukuran besar terpasang, bertuliskan Forum Group Discussion: Optimalisasi Peran Masyarakat dan Peningkatan Kapasitas dalam Pembangunan Daerah.

Raka, seorang jurnalis yang sudah kenyang makan nasi kotak dari hotel-hotel bintang tiga, kembali hadir di sebuah acara bertajuk FGD atau Bimtek dengan Judulnya sudah bikin keningnya berkerut.

“Peningkatan kapasitas? Kapasitas siapa dulu? Kapasitas ilmu, kapasitas dompet, atau kapasitas perut gara-gara snack melimpah?” gumamnya.

Jam undangan tertulis mulai pukul 08.00. Tapi seperti biasa, jam Indonesia punya zona waktunya sendiri: ngaret. Pukul 09.00 peserta masih sibuk selfie, pukul 09.30 MC baru muncul, lalu acara resmi dibuka pukul 10.00 dengan doa dan sambutan yang panjangnya mengalahkan khutbah Jumat.

Sesi paling serius ternyata bukan diskusi, melainkan foto bersama. Kamera berderet, semua senyum kaku sambil dalam hati menghitung: “Nanti upload di medsos biar kelihatan kerja.” Setelah itu? Satu per satu peserta menghilang seperti kabut pagi.

Ia sudah sering menghadiri acara serupa. Judulnya selalu terdengar megah, penuh jargon. Tapi kenyataannya, alur acaranya bisa ditebak: registrasi molor, pembukaan terlambat, sesi foto bersama dengan senyum kaku, lalu ruangan mulai perlahan kosong sebelum diskusi sempat menyentuh inti.

“Begitu lagi, begitu lagi,” gumam Raka sambil mengetik beberapa kalimat pembuka liputannya.

Sebagai jurnalis, ia dituntut menulis dengan rapi, menyajikan informasi sesuai kebutuhan publik. Namun, di balik kata-kata yang ia tulis, ada kegelisahan yang tidak bisa ia abaikan.

Ia melihat bagaimana acara demi acara digelar hanya sebagai formalitas, sekadar alasan untuk menghabiskan anggaran.

Padahal, pikirnya, kalau saja forum ini digarap dengan serius, hasil diskusinya bisa benar-benar jadi masukan berharga bagi kebijakan daerah. Bukan sekadar rutinitas kosong.

Baca Juga :  Ratusan Siswa SD Adu Gengsi di Ajang Olahraga Tradisional Kuningan

Raka mengenal baik beberapa pejabat yang duduk di depan. Ia tahu, sebagian besar tidak jahat; hanya terjebak dalam kebiasaan. Kadang mereka pun mengeluh padanya, “Ya, beginilah prosedur. Kalau tidak ada acara seperti ini, anggaran tidak jalan.”

Ia ingin mengkritisi lewat tulisannya, tapi hubungan baik yang sudah lama terjalin membuatnya menahan diri. Ia takut kritiknya malah dianggap serangan pribadi, bukan masukan tulus.

Di sela kegalauan itu, ia teringat prinsip yang pernah diajarkan gurunya di dunia jurnalistik:
“Apa yang kau tulis harus kau pahami, tapi apa yang kau pahami tidak selalu harus kau tulis.”

Raka menarik napas panjang. Ia menutup laptop sebentar, memperhatikan para peserta yang sibuk membuka ponsel masing-masing. Hanya segelintir yang mendengarkan moderator berbicara.

Ia tahu, liputannya nanti akan tetap ia tulis dengan rapi, informatif, dan terlihat positif di permukaan. Tapi di hatinya, ada doa kecil: semoga suatu hari, acara seperti ini tidak lagi jadi sekadar seremonial.

Semoga ada keseriusan yang lahir, bukan hanya untuk menghabiskan anggaran, melainkan untuk benar-benar memberi manfaat.

Dan ia pun berjanji pada dirinya sendiri, jika suatu saat ada ruang yang tepat, ia akan menyuarakan keresahannya dengan cara yang bijak. Karena bagi Raka, tugas seorang jurnalis bukan hanya mencatat, tetapi juga menjaga nurani.

Hanya Fiksi sambil Ngopi by Bengpri

Related posts

Darurat Kekeringan! 8 Desa di Kuningan Krisis Air Bersih, 8.500 Jiwa Terdampak

Cikal

Longsor di Cimara Kuningan, Tiga Rumah Ambruk dan 26 Keluarga Mengungsi

Cikal

Diduga Hadiri Kampanye Caleg, Aparat Desa Cibinuang Dilaporkan ke Bawaslu Kuningan

Cikal

Leave a Comment