Cikalpedia.id – Malam itu, hujan turun deras. Di sudut ruang tamu yang temaram, Dimas duduk memandangi foto tua dalam bingkai kayu. Gambar seorang pria tua, bertopi caping, tersenyum dengan mata yang letih tapi damai. Ayahnya.
“Pak… aku capek,” gumamnya lirih, hampir seperti bisikan kepada angin malam yang menyusup dari celah jendela.
Sudah seminggu toko sembako miliknya sepi. Uang sekolah anaknya tertunda. Istrinya diam, kecewa tapi tak mau menambah beban. Dan di dalam dirinya, ada pertanyaan yang tak pernah selesai, “Bagaimana Bapak dulu menjalani semua ini… dan tetap tersenyum?”
Dimas masih ingat, tubuh ayahnya dulu kekar legam terbakar matahari. Tapi di usia senjanya, tubuh itu mulai bungkuk, langkahnya gemetar, tapi semangatnya tak pernah pudar.
“Ayah, kenapa dulu kau tak pernah menyerah?” tanyanya dalam hati.
Ia ingat suatu senja, waktu ia masih kecil. Ayahnya pulang dari ladang, basah kuyup oleh hujan, menggigil, namun tetap membawa sekeranjang singkong.
“Makanlah dulu. Bapak sudah makan di ladang,” katanya saat itu. Padahal Dimas tahu, ayahnya belum makan apa-apa.
Kini, bertahun-tahun setelah ayahnya dikubur di pemakaman desa, Dimas mulai mengerti. Bahwa menjadi ayah bukan hanya soal menafkahi, tapi soal menjaga agar keluarga tetap utuh, meski dunia runtuh di atas pundak sendiri.
Anaknya menangis di kamar. Istrinya masih belum bicara. Toko belum juga ramai. Dan harapan seperti menggantung tipis di ujung tali yang rapuh.
