Beberapa hari terakhir, berita tentang banjir bandang, longsor, dan bencana alam di pulau Sumatera membanjiri media masa dan sosial. Bencana itu datang, bukan hanya rumah dan harta yang hilang tapi juga rasa aman, harapan, bahkan hak untuk hidup.
Di balik semua itu, ada satu pesan besar yang mungkin terlupakan bahwa alam sedang berbicara jujur kepada manusia. Alam seolah bicara, jika kata-kata tak lagi berguna, nasihat-nasihat tidak bermakna, biar peristiwa saja yang bicara. Aku datang! Aku adalah bencana.
Bencana tahun ini bukan kali pertama terjadi. Sebab-sebabnya juga bukan hal yang jauh dari prediksi manusia. Tetapi, karena abai dan lalai, peristiwa masa lalu terus berlalu. Sejarah bencana tidak bisa memberi makna.
Keadaan ini lahir dari pengabaian atas orientasi hidup yang sesungguhnya. Di dalam Islam, orientasi ini sudah diwanti-wanti, bahwa tujuan akhir atau hari akhir adalah segala-galanya. Bukan soal hidup setelah mati saja, hari akhir sejatinya bicara tentang konsekwensi dari setiap apapun yang dilakukan.
Sejatinya, paradigma itu melahirkan tindakan yang selaras, yang berorientasi masa depan. Tentang relasi manusia dengan alam, misalnya, manusia harus sadar bahwa masa hidupnya hanya menumpang di muka bumi. Tugasnya bukan mengeksploitasi atau menguasai, tetapi menjaga dan memakmurkan.
Ketika pepohonan ditebang habis, sungai dicemari limbah, atau gunung dirusak demi keuntungan cepat, tindakan itu tidak mencerminkan tugas manusia. Tidak mencerminkan karakter umat yang bertuhan dan berkeyakinan tentang adanya masa akhir dari yang apa yang diperbuatnya.
